The Iron Lady(2011 - The Weinstein Company/20th Century Fox/Pathé/Film4/UK Film Council)Directed by Phyllida LloydScreenplay by Abi MorganProduced by Damian JonesCast: Meryl Streep, Jim Broadbent, Olivia Colman, Susan Brown, Anthony Head, Richard E. Grant, Alexandra Roach, Harry Lloyd, Iain GlenSosok Margareth Thatcher adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah modern, ia adalah pemimpin pemerintahan pertama di benua Eropa yang berkelamin perempuan, bahkan menjabat dengan cukup lama selama 11 tahunan, dari 1979 hingga 1990 yang penuh dinamika. Film mengenai tokoh ini pun cepat atau lambat pasti akan dibuat. The Iron Lady adalah film bioskop pertama tentang Thatcher (sebelumnya ada beberapa miniseri dan FTV) yang jelas mendapat perhatian. Mendengar rencana produksi film yang didukung dana pemerintah UK (seperti halnya
The King’s Speech) ini agak
mixed feeling sebenarnya, tokoh berjulukan wanita besi ini tidak diperankan oleh aktris kebangsaan Inggris, melainkan Amerika. Tapi untungnya aktris Amerika itu tak lain tak bukan si ultra luar biasa, Meryl Streep. Tapi lagi, film ini disutradarai oleh Phyllida Lloyd yang “sukses” lewat
Mamma Mia! (juga dibintangi Streep) yang menurut gw filmnya, emm, yah, begitu ajalah.
So bagaimana hasilnya?
The Iron Lady dalam kalimat singkat: Meryl Streep-nya keren banget, filmnya nggak keren banget. Gw mengerti maksud bahwa film ini berfokus pada Thatcher yang sudah pensiunan janda lansia demensia, which is profoundly gw nggak ngerti menariknya dimana, tapi terserah sih. Riwayat kehidupannya, yang sebenarnya lebih gw nantikan, disampaikan mengikuti apa yang diingat oleh oma Thatcher di masa tuanya. Naskahnya bermaksud untuk fokus pada Thatcher yang punya penyesalan dan kegalauan antara masa tugasnya sebagai orang nomer 1 di pemerintahan Inggris Raya dengan kurangnya waktu yang ia habiskan dengan suaminya, Denis Thatcher (Jim Broadbent) semasa hidup dan kedua anak kembar cewek-cowoknya, Carol (Olivia Colman) dan Mark, saking galaunya sampe-sampe ia masih bisa “ngobrol” sama suaminya yang sudah meninggal. Namun yang terjadi, filmnya terlalu menitikberatkan pada fase Thatcher tua itu yang hanya beberapa hari rentang waktunya, dibandingkan dengan perjuangan dan kiprahnya di pemerintahan yang terkesan hanya selingan kilas balik saja seakan penonton dipaksa untuk sudah tau tentang Thatcher. Oke gw tau siapa Thatcher, tapi gw ‘kan nggak tau sistem dan proses pemilihan anggota parlemen dan kabinet di Inggris sana gimana. Yang ada hanya Thatcher udah lulus Oxford eh tiba-tiba udah calonin diri buat jadi anggota DPR aja, terus kalah. Lha prosesnya gimana, cara milihnya gimana? Katanya susah kalau wanita maju jadi anggota parlemen, susahnya gimana? Lagi-lagi, penonton “dipaksa” untuk sudah tau tentang segala proses itu. Plis deh. Untuk sebuah film sejarah dan biografi, film ini pelit pengetahuan.
Tetapi mungkin itu hanya kekurangan kecil saja dari film ini. Kita masih bisa lihat highlight sepak terjang Thatcher sepanjang karirnya, mulai dari debat di ruangan parlemen dengan suara high pitch nan nyolot-nya itu, mencalonkan diri jadi ketua partai konservatif meskipun bilang “nggak bakal ada perempuan jadi perdana menteri Inggris selama saya masih hidup” *eaa*, pembentukan citra selama kampanye (soal rambut, baju, dan sikap tubuh), juru kampanyenya yang kena bom teror gerakan Irlandia merdeka IRA, berhasil jadi perdana menteri, membuat kebijakan kontroversial, pemboman hotel tempat dia dan suami menginap, perang dengan Argentina merebut Falklands Island, hingga sikap menolak untuk ikutan dalam mata uang tunggal Eropa. Semuanya ditampilkan cukup menarik meski kadang agak sureal (ada gambaran dalam pengambilan keputusan, Thatcher memutuskan sendiri, bukan kata orang yang ada di dekatnya), menggambarkan betapa kerasnya watak wanita ini, yang dapat membawa keuntungan sekaligus kerugian bagi sekitarnya. Namun sekali lagi, porsi fase-fase “masa lalu” Thatcher itu hanya sekedar syarat saja, sambil lalu. Kekurangan terbesar film ini adalah kegagalannya untuk jadi tidak membosankan. Film ini hanya 1 jam 45 menit tetapi berasa lammmaaaa banget akibat lajunya yang kayak nggak kemana-mana, terutama di setengah jam pertama. Masa-masa tua Thatcher yang sangat lebih banyak porsinya itu terlalu ditekankan tetapi tidak dibuat menarik dan nggak jelas arahnya. Sampe-sampe dalam hati gw sering berujar “Boleh beralih ke adegan flashback lagi gak, please.”
Satu-satunya kunci yang membuat gw betah menonton film ini sampai akhir adalah Meryl Streep yang, sebagaimana gw sebut tadi, ultra hebat aktingnya. Gesturnya, ekspresinya, cara bicaranya, sorot matanya, she nailed every single scene. Film ini akan jadi males banget ditonton seandainya tidak ditolong oleh tante Meryl dan efek make-up-nya yang jawara banget. Jika ada yang bakal gw ingat terus dari film ini adalah performa tante Meryl, bukan penyampaian ceritanya yang menjemukan, bukan pula karakterisasi pendukung yang nggak berefek apa-apa itu. Yes, kita masih bisa mendengar quotes inspiratif dari seorang Margaret Thatcher—terutama yang gw inget bahwa katanya terlalu banyak orang ingin “menjadi” ketimbang “berbuat” sesuatu—tapi sekali lagi, film yang baik tidak cukup hanya dengan kutipan kata-kata yang baik. The Iron Lady pada akhirnya hanyalah sebuah film biasa saja yang harusnya merasa malu karena perfoma akting pemeran utamanya yang 3 kali lebih baik daripada segala hal lain dalam filmnya.
My score:
6/10
ADS HERE !!!