Tanah Surga...Katanya(2012 - Demi Gisela Citra Sinema/Brajamusti Films)Directed by Herwin NoviantoWritten by Danial RifkiProduced by Bustal NawawiCast: Aji Santoso, Fuad Idris, Ringgo Agus Rahman, Astri Nurdin, Ence Bagus, Tissa Biani Azzahra, Norman Akyuwen, Muhammad RizkyTim marketing dan promosi film-film Indonesia non-horor (berjudul) sensasional, kecuali memang filmnya bukan untuk dijual, perlu pembenahan nih. Sudah berapa banyak film kita yang tiba-tiba ada tanpa ada market awareness sampai 1-2 hari sebelum film bersangkutan akhirnya dirilis di bioskop. Entah itu, atau gwnya yang emang kurang baca-baca media =P. Anyway, Tanah Surga...Katanya juga salah satu film yang menurut gw sih tiba-tiba muncul di daftar coming soon di situs jaringan bioskop, gw hampir gak tahu-menahu tentang film ini sampai sekitar seminggu sebelum dirilis menyambut liburan Hari Kemerdekaa+Lebaran tahun ini bersama dengan beberapa film Indonesia lainnya. It's supposed to be a "battlefield" period tapi film ini bisa dibilang ada di bagian belakang barisan antisipasi, ya karena promo minim itu. Even the poster looked suck and pointless. Nggak meyakinkan deh.
Padahal, Tanah Surga...Katanya ini adalah film yang terbilang sangat
watchable. Jika Anda termasuk penonton yang pernah menyukai film-film bermuatan lokal seperti Denias Senandung di Atas Awan atau
The Mirror Never Lies, film yang dibikin oleh rumah produksi milik Deddy Mizwar dan Aa' Gatot Brajamusti ini (
yup, you read that right) bisa dibilang mengarah ke sana. Berkisah tentang sebuah keluarga yang tinggal di sebuah dusun di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak (Malaysia), bertumpu pada Salman (Aji Santoso) yang masih bersekolah di kelas 4 SD (ya toh sekolahnya cuma ada kelas 3 dan 4 SD yang diajar satu orang guru). Sudah kehilangan ibu dan neneknya, ia tinggal berdua bersama kakeknya, Hasyim (Fuad Idris) yang seorang mantan pejuang perbatasan zaman Dwikora (monggo di-
google) sejak adiknya Salina (Tissa Biani Azzahra) diajak ayahnya (Ence Bagus) yang sudah menikah lagi dengan wanita Malaysia pindah ke Sarawak demi kesejahteraan. Perpisahan nyelekit ini mengakibatkan kakek Hasyim jadi lebih sering sakit-sakitan, bahkan dokter yang baru datang ke dusun, Anwar "Intel" (Ringgo Agus Rahman) menyarankan kakek Hasyim ke rumah sakit, namun karena biaya jalan ke rumah sakit (Indonesia) terdekat mahal, Hasyim pun tidak mengikuti saran itu. Khawatir, Salman pun mulai bekerja lebih keras agar dapat membiayai kakeknya ke rumah sakit, termasuk berdagang kerajinan di pasar Sarawak.
Rasanya, hanya dengan mengembangkan penceritaan dari situ saja, kita sudah bisa akan menangkap gagasan yang ingin disampaikan film ini. Dilema klasik warga perbatasan, antara tetap tinggal di tanah air sendiri dengan keadaan yang begitu-begitu saja, atau tinggal koprol dikit berpindah haluan ke negara tetangga yang menawarkan kesejahteraan dan iklim usaha yang lebih menjanjikan. Keadaan lingkungan berpengaruh ke lingkup pribadi, ketika kakek Hasyim butuh perawatan dan tak sanggup kerja, Salman harus berjuang sendiri agar dapat menyembuhkan kakeknya, meminta tolong pada ayah dan adiknya di seberang pun tidaklah gampang, lagipula kemungkinan besar sang ayah akan membawa kakek Hasyim ke klinik di Malaysia, hal yang jelas-jelas Hasyim tolak. Terdengar konyol, tapi ini prinsip, apalagi kakek mantan pejuang, melawan pihak Malaysia pula, mungkin dalam benaknya menjaga ke-Indonesia-an diri dan keluarganya di perbatasan adalah tugas bagiannya sebagai warga negara. Gosh, Indonesia memang harusnya bersyukur jika masih punya banyak orang seperti kakek Hasyim, yang masih setia dan percaya akan negara dan bangsa ini meski selama ini pemerintahannya labil nan payah dan kehidupannya belum sampai pada taraf adil dan sejahtera. Film ini mempertunjukkan dilema itu, merepresentasikan kontras kehidupan di perbatasan bagian Indonesia dan Malaysia. Entah dengan otentisitasnya, tetapi setidaknya film ini bukan sekadar alat propaganda nasionalisme, bahkan sebuah presentasi yang cukup fair dan realistis tentang permasalahan kedaulatan negara ini, tidak terkesan terlalu dibuat-buat, apalagi diselesaikan dengan terlalu gampang.
Tapi perlu dicatat, itu kalau ceritanya dikembangkan dari plot Salman dan Hasyim saja. Rupanya, mungkin memang kebiasaan dari Deddy Mizwar dan Demi Gisela Citra Sinema-nya, subtlety kayak nggak cukup bagi mereka. Musti kudu harus ada sindiran yang keras dan jelas, wajib itu. Hadirlah peristiwa kedatangan perwakilan dinas pendidikan ke dusun itu (cameo oom Deddy dan Aa' Gatot), melambangkan pemerintahan yang angkuh dan pengen di-entertain terus menerus ketimbang sebaliknya. Ketika Salman menyairkan puisi yang (ceritanya) polos tentang keadaan negeri menurut pandangannya, kedua tamu agung itu tersinggung dan mencabut "bantuan" yang tadinya sudah dicatat. Adegan ini buat gw tidak terlalu penting dengan benang merah utama, cuma ada demi statement saja. Tidak jelek, tapi ya jadi agak kemana-mana aja. Begitu pun subplot-subplot yang dimunculkan seperti menyerobot porsi cerita Salman dan Hasyim, utamanya cinta segitiga Bu Gru Astuti (Astri Nurdin) dengan dr. Anwar dan kepala dusun Pak Gani (Norman Akyuwen). Di bagian awal film ini begitu kokoh dan meyakinkan menampilkan Salman dan kakek Hasyim, gw kirain mereka tokoh utamanya, tapi yah apa lacur di tengah-tengah lumayan banyak intermezzo-nya.
Nevertheless, Tanah Surga...Katanya bukanlah film yang gagal, jauh dari itu, ini film yang well-made dengan production value yang sangat bagus (desain artistik, sinematografi, editing, musik), mungkin yang terbagus yang pernah gw lihat dari produksi Demi Gisela Citra Sinema. Penataan adegannya juga indah dilihat, akting pemainnya tidak ada yang bercela, yang dipimpin oleh Fuad Idris sebagai kakek Hasyim yang bermain luar biasa. It's great to look at. Kenyamanan menikmatinya juga berkat pengisahan sutradara Herwin Novianto yang berusaha se-subtle mungkin (jelas kelihatan bedanya dari karya oom Deddy sendiri) termasuk di eksekusi adegan yang gw sebut di paragraf sebelumnya. Amanahnya besar tetapi semuanya sesuai konteks, tidak terkesan terlampau pretensius. Adegan-adegan yang menurut gw cuma mengacaukan fokus cerita juga nyatanya tidaklah ganggu-ganggu amat kala diikuti, gw pun cukup larut dan terhibur menyaksikannya, dan lucu aja dengan tampilnya berbagai gag khas film Indonesia (salah paham bahasa, lantai bolong, nonton TV bareng, dijodohin sama cewek nggak cantik, anak kecil ngintip pasangan dewasa berduaan, dsb.)...O well, itu sampai pesan sponsor merusak segala usaha subtlety itu. Emang itu sosis gak cukup dipampang logonya di warung ya? Harus gitu dimakan dan diomongin "lagi makan sosis"? Rakus sekali sih ini pesan-pesan sponsor, sepertinya nggak puas kalau hanya ditampilkan satu kali saja sepanjang film, padahal bantu promosiin film ini juga nggak. Tapi ya sudahlah, dengan segala permakluman, film ini boleh jadi salah satu film Indonesia yang patut diperhitungkan dan layak ditonton tahun ini, utamanya pada masa liburan panjang ini.
My score:
7,5/10