La La Land(2016 - Summit Entertainment/Lionsgate)
Written & Directed by Damien ChazelleProduced by Marc Platt, Gary Gilbert, Jordan Horowitz, Fred BergerCast: Ryan Gosling, Emma Stone, John Legend, Rosemarie DeWitt, J.K. Simmons, Finn Wittrock, Josh Pence, Tom Everett Scott, Callie Hernandez, Jessica Rothe, Sonoya Mizuno
Zaman emang berubah ya. Sampai pada pertengahan abad ke-20, kayak sebagian film Hollywood formatnya musikal--maksudnya bagian-bagian ceritanya dituturkan dengan musik dan nyanyian,
tidak sama dengan film biasa yang ada adegan orang nyanyi ya. Namun, menjelang abad 21 film musikal Hollywood makin jarang aja, baik jarang yang bikin, jarang yang bagus, maupun jarang yang laku. Di zaman sekarang yang penontonnya gampang komplain dan kemasan musikal sendiri bukan lagi favorit publik kecuali kalau animasi, bikin film musikal
live action itu emang nggak boleh setengah-setengah, butuh keterampilan dan kecintaan yang khusus, bukan sekadar pengen bikin cerita yang banyak lagunya karena
it sounds cute. Gw termasuk penyuka film musikal tetapi gw sadar film musikal zaman milenium ini nggak semuanya
created equal, yang bagus akan langsung jadi favorit gw (Moulin Rouge,
Chicago,
Les Miserables), sementara yang nanggung akan
bye bye (
Burlesque,
Annie 2014 =_=). Namun,
La La Land termasuk cepat bikin gw percaya meski sebelum nonton, karena satu nama, Damien Chazelle, yang sebelumnya sukses memukau dan memesona gw lewat film tentang drummer jazz,
Whiplash yang keren dan
exciting banget itu. Minimal, gw mengharapkan akan mendapat
excitement yang sama. Eh ternyata, film ini justru memberi lebih.
Los Angeles alias L.A. atau sering dijuluki "LA LA Land" adalah muara orang-orang yang bermimpi jadi sukses di dunia entertainment--kompleks Hollywood pun letaknya di sana. Tersebutlah Mia (Emma Stone), salah satu dari sekian orang yang meninggalkan kampung halaman dan pindah ke L.A. demi mewujudkan cita-cita jadi aktris, bertahun-tahun audisi sana-sini sambil menyambung hidup dengan jadi barista di kedai kopi. Tersebutlah Sebastian (Ryan Gosling), seorang pianis jazz yang bercita-cita membangkitkan kembali jazz murni di L.A. dengan membuat sebuah klub sendiri, namun sementara harus menyambung hidup dengan ngamen di kafe dan kondangan. Dua orang dengan mimpi berbeda tapi sama kuatnya dan sama-sama tidak memilih zona nyaman, dipertemukan dan cinta pun tumbuh di antara keduanya. As in life, "jadian" bukanlah akhir cerita, dan masih ada cita-cita yang harus diperjuangkan. Mungkin hidup jadi terasa menyenangkan ketika bersama orang yang dicinta, tetapi tidak berarti jadi lebih mudah. Terdorong oleh dukungan Sebastian, Mia nekad melepas pekerjaan hariannya dan fokus bikin pertunjukan teater sendiri, sekalipun itu sangat mempertaruhkan masa depannya di L.A. Sebaliknya, Sebastian jadi merasa bertanggungjawab untuk mewujudkan mimpinya sesegera mungkin, memutuskan bergabung dalam sebuah band rekaman beraliran pop, sesuatu yang melanggar idealismenya. Akhirnya, seperti ada cinta segitiga antara Mia, Sebastian, dan mimpi-mimpi mereka.
Gw hampir nggak tahu harus mulai dari mana dalam mengomentari film ini, karena terlalu banyak hal yang bikin film ini begitu captivating dan menjadikannya--biar gw langsung saja bilang--salah satu film musikal modern terbaik yang pernah gw tonton. Mungkin gw mulai dari kemasan audio visualnya kali ya. Terlihat sekali bahwa film ini lahir dari perpaduan kecintaan akan musikal Hollywood zaman dulu dengan latar masa kini. Penyajiannya juga semacam penghormatan yang klasik-klasik, yang paling kentara adalah penggunaan film seluloid dan rasio Cinemascope buat gambarnya. Yang bikin gw nggak habis pikir adalah gimana cara orang-orang ini mengolah ambience klasik itu tetap relevan dengan hal-hal kekinian. L.A. yang bayangan gw adalah kota modern dan mungkin "kering"--agak bener sih terlihat dari pembagian waktu empat musim di filmnya tapi iklim di L.A. ternyata sama aja sepanjang tahun, disulap menjadi penuh warna dan dreamy tanpa terlihat salah tempat. Because, again, L.A. di sini adalah tempat berkumpulnya para pemimpi.
Sebagai musikal, film ini juga berani bikin seperti film-film zaman dahulu yang memang sangat mengandalkan pengarahan, pengambilan gambar, dan komitmen para aktornya (dan extras-nya) untuk menyanyi dan menari dengan sungguh-sungguh, tanpa tergantung polesan efek visual atau bahkan editing. Perhitungan dalam merancang adegan-adegan ini bikin gw nganga pas nonton. Perhatikan baik-baik bahwa hampir setiap adegan bernyanyi dieksekusi dalam satu kali take tanpa diputus, itu pun sudah termasuk perpindahan dari adegan dialog biasa ke "dunia" musikal dengan sangat seamless. Itu berarti ada perkawinan antara skenario, akting, lirik dan musik, koreografi, framing dan pergerakan kamera, tata artistik dan pemilihan lokasi, tata cahaya, editing, dan segala hal lain yang terkait. Gw hampir mau menulis musical number terbaik yang menunjukkan itu di film ini, tetapi rasanya semua adegan musikalnya punya kualitas demikian, baik yang ada liriknya maupun yang hanya musik dan tarian, baik yang jazz maupun yang nggak =D. Jangan lupakan juga performa hebat Stone dan Gosling yang begitu lovable beserta keserasian mereka yang tak terbendung memancar di layar, bikin gw percaya bahwa mereka sudah biasa melakukan ini--mungkin emang iya mereka pernah main musikal tapi kayaknya pembuktiannya baru di sini.
Namun, tentu saja yang penting bukan hanya kehebatan kemasannya, konteks dalam ceritanya juga harus terkait. Oooh, bukan hanya terkait, segala sesuatu di La La Land itu beneran fusion dari segala sisi. Film ini boleh saja kemasannya musikal, yang kerap dianggap absurd bahkan konyol, tetapi bagaimana film ini menangani topik love and dreams justru sangat realis dan relevan buat semua orang, terutama yang punya kegairahan serupa dengan Mia dan Sebastian, yang sama-sama menaruh cita-cita sama pentingnya dengan cinta. Tahapan-tahapan perjalanan Mia dan Sebastian nggak sekalipun terkesan picisan, disusun sedemikian detail tanpa menahan laju filmnya (editing-nya keren!), sehingga gw bisa paham betul bagaimana Mia dengan impian di dunia seni perannya, bagaimana Sebastian dengan dunia jazz-nya, bagaimana perasaan mereka satu sama lain dengan musik sebagai pemicunya. Ada manis dan tawa, juga ada kebimbangan, kemarahan, dan ironi, semuanya itu diangkat dalam adegan-adegan yang masterfully crafted: mungkin beginilah rasa excited saat melangkah semakin dekat dengan cita-cita, atau saling suka dengan seseorang tapi gengsi mengakui, atau pas lagi seneng-senengnya jadian, atau beginilah proses saat sebuah rangkaian musik membangkitkan kenangan, dan sebagainya. Adegan-adegan tersebut memang ditata imajinatif, tetapi juga jadi deskripsi tepat akan setiap emosi yang sebenarnya begitu dekat dan nyata.
Dalam benak gw muncul sebuah kesimpulan tentang La La Land yang menurut gw cukup menggambarkan bahwa ini bukan film musikal rata-rata. Film ini bukan cuma cerita yang dituturkan lewat musik, tetapi seluruh film ini adalah musik. Bagaikan musik yang semua instrumen punya fungsi dan notasi masing-masing yang menciptakan harmoni, film ini benar-benar menunjukkan sebuah persembahan yang kompak dari semua departemen. Dan, dengan segala dinamikanya, film ini selalu berhasil memunculkan rasa yang tepat di tiap bagiannya, membuat perhatian dan emosi gw terlarut dan dibawa ke tempat-tempat yang seharusnya, tetapi nggak dengan cara-cara obvious--satu contoh: gimana caranya sebuah adegan konser yang riuh dan lagu yang enak justru memunculkan rasa gelisah hanya dari pengetahuan kita tentang karakter-karakter ini sebelum adegan tersebut. Memadukan gaya lama dan baru, menyandingkan mimpi dan realita, juga sedih dan bahagia, bahkan sempat juga menyelipkan sindiran tentang industri hiburan di sana, La La Land bikin gw yang nonton jadi merasa senang bukan hanya karena gw menyukai format musikal, atau hanya cerita atau teknis atau musiknya yang bagus, tetapi karena segala sisinya memang luar biasa sebagai sebuah karya film. Gila banget ini film.
My score: 9/10