Surga yang Tak Dirindukan 2(2017 - MD Pictures)
Directed by Hanung BramantyoScreenplay by Alim Sudio, Hanung Bramantyo, Manoj PunjabiBased on the novel by Asma NadiaProduced by Manoj PunjabiCast: Laudya Cynthia Bella, Fedi Nuril, Raline Shah, Reza Rahadian, Sandrinna Michelle Skornicki, Nora Danish, Kemal Palevi, Tanta Ginting, Muhadkly Acho, Keefe Bazli Ardiansyah, David ChalikTampaknya gw nggak perlu melapis-gulakan (maksudnya
sugarcoating =P) pandangan dan perasaan gw terhadap
Surga yang Tak Dirindukan 2.
You can see why dari
review gw untuk film pertamanya,
Surga yang Tak Dirindukan (2015). Dari denger pengumuman bahwa akan ada yang kedua aja udah gatel ingin bikin plesetan judulnya jadi "sekuel yang tak dibutuhkan".
I mean, sekalipun gw nggak simpati sama film pertamanya, setidaknya film itu ditutup dengan bijak dan
understandable. Sekuelnya mau cerita apa lagi? Menurut gw kalau bukan bikin cerita anak si istri pertama dan anak si istri kedua ternyata pacaran pas udah remaja, mending nggak usah *demen sensasi*. Tapi apa boleh buat, bagaikan kisah di film pertama bahwa sebenarnya si laki tidak bermaksud punya istri kedua tapi "telanjur" -_-, film ini ya sudah telanjur jadi. Mungkin
fascination orang-orang terhadap isu poligami memang belum habis ya.
Interestingly, sekuel ini digarap oleh Hanung Bramantyo, setelah film pertamanya kursi sutradara diberikan kepada salah satu anak didiknya, Kuntz Agus--pola yang sama dengan Habibie & Ainun dan sekuelnya
Rudy Habibie.
One can hope a better result when handled by the mentor right?
Riiight…
Surga yang Tak Dirindukan 2 terjadi tiga tahun setelah Meirose (Raline Shah), istri-kedua-tapi-nggak-sengaja dari Pras (Fedi Nuril) memutuskan memulai hidup baru sendiri jauh dari Pras dan istri sah pertamanya, Arini (Laudya Cynthia Bella). Di masa kini, Arini sudah punya karya buku anak-anak yang diterbitkan sampai ke luar negeri, dan suatu hari dia diminta datang ke Budapest, Hungaria untuk beberapa kegiatan terkait bukunya itu serta mencari inspirasi karya baru tentang Islam di negeri itu. But of course namanya film, di tempat paling unlikely itulah Arini tanpa sengaja bertemu lagi dengan Meirose dan putranya, Akbar, yang sudah menetap di sana. Di saat yang sama, Arini berjumpa dengan dokter keturunan Indonesia, Syarif (Reza Rahadian), yang menemukan bahwa Arini mengidap suatu penyakit. And we all know where this goes.
Ummm, ya bebaslah pokoknya. Gw merasa cerita film ini dibuat karena yang bikin cerita merasa ada "tuntutan" bahwa Pras harus memilih satu orang istri saja. Padahal mah ya udah kalau ternyata memang bertiga itu ikhlas hidup rukun bahkan saling cinta, dan poligami itu nggak ilegal, biarin aja atuh, hidup hidup orang ini. Tapi ya kalau nggak diribet-ribetin nggak akan jadi film, ya nggak? Sepertinya juga gw mendapat "pesan" terselubung bahwa pembuat filmnya ini mengajak yang nonton nggak serius-serius amat menanggapi cerita film ini, berhubung 5-7 menit pertamanya itu adalah callback film pertama sekaligus self-mocking yang menurut gw lucu—dan agak berharap seluruh filmnya punya tone begitu tapi ya nggak mungkinlah ya.
Anyway, meski dengan cerita dan sutradara berbeda, anehnya menyaksikan Surga yang Tak Dirindukan 2 punya sensasi serupa dengan film pertamanya. Jika di film pertama itu bikin gw emosi jiwa karena karakter-karakternya itu buodoh banget setiap ngambil keputusan, nonton film ini juga bikin emosi serupa, walau targetnya mengerucut pada satu karakter saja. Gw bisa saja menanggapi negatif hal ini, karena pembangunan karakter tersebut seperti dirancang untuk jadi protagonis tapi malah dibangun keliru karena nggak bikin simpati. Karakter ini luar biasa egois sampai ke ngatur-ngatur perasaan orang lain, seolah kehidupan orang lain itu harus dia yang memutuskan dan semua harus nurut maunya dia sekalipun itu menghalangi kebahagiaan orang lain, mentang-mentang sedang punya daya tawar tinggi. Hih, nggak mikir apa tuh orang *lah emosik*.
Nah, di sisi lain, gw merasa bahwa film ini memang direkayasa sedemikian rupa sehingga keberpihakan gw jadi, well, lebih mudah, bikin gw makin melihat pihak satunya itu definitely deserve better—walau menurut gw tetapi si egois itu nggak punya hati dengan ngatur-ngatur pilihan hidup orang. You see, sekalipun gw kesal dengan filmnya, toh ternyata gw tetap memperhatikan isi filmnya, tetap aja terlibat secara (bikin) emosi sama film ini. Mirip ibu-ibu kita saat nonton sinetron atau sidang pengadilan live. Sebuah trik klasik tapi gw masih teperdaya, boleh juga film ini ckckck.
Jadi, sama seperti film pertamanya, banyak hal yang gw nggak setuju dari film ini, mulai dari bahwa film ini ada =_=', sampai ke bagian-bagian ceritanya, durasinya sampai 2 jam pula. Yang sudah pasti gw setuju, juga sama kayak film pertamanya, adalah sinematografi dan tata produksi yang memaksimalkan bagian mereka dengan baik, sebagaimana yang bisa diharapkan dari tim pimpinan Hanung—memilih lokasi rumah sakit yang serba bundar itu brilian sekali =). Tetapi gw juga perlu akui bahwa sekalipun film ini agak lambat dalam membangun konfliknya, film ini termasuk nggak serba cengeng, setidaknya nggak tiap saat ada musik dramatis dan ekspresi histeris. Dan, jika ada satu hal yang menurut gw paling stand out di film ini adalah performa Raline Shah, yang makin lama makin articulate, dan ekspresi serta gesturnya makin natural, dan mungkin berpengaruh pula untuk gw condong berpihak sama karakter dia haha *yah ketauan deh siapa tadi yang gw maksud*.
My score: 6/10