Galih & Ratna(2017 - 360 Degrees Synergy/Nant Entertainment)
Directed by Lucky KuswandiScreenplay by Fathan Todjon, Lucky KuswandiBased on the novel "Gita Cinta dari SMA" by Eddy D. IskandarProduced by Sendi Sugiharto, Ninin MusaCast: Refal Hady, Sheryl Sheinafia, Joko Anwar, Marissa Anita, Ayu Diah Pasha, Hengky Tarnando, Sari Koeswoyo, Rain Chudori, Stella Lee, Agra Piliang, Indra Birowo, Anneqe BunglonMasih dalam tren semangat nostalgia dalam perfilman saat ini, sineas Lucky Kuswandi (Selamat Pagi Malam) urun karya dengan mengdaptasi ulang novel roman Gita Cinta dari SMA. Bagi yang belum ngeh, novel ini pernah diadaptasi jadi film berudul sama di tahun 1979 dengan bintang Rano Karno dan Yessy Gusman sebagai Galih dan Ratna, serta menghasilkan lagu-lagu soundtrack orisinal yang jadi hits. So there's your every Indonesian pop culture in a sentence. Kini lewat film Galih & Ratna, kisah dua insan remaja di bangku SMA *aihh* ini diberikan berbagai modifikasi agar lebih sesuai dengan situasi masa kini, dan katanya sih memang dari susunan plotnya ada yang diubah sehingga memang nggak sama persis dengan novel ataupun film pendahulunya. Katanya ya, gw sih kurang paham, beda generasi =P. Akan tetapi, rupanya film ini tetap nggak jauh dari kata nostalgia, meski mungkin dalam perwujudan yang berbeda.
Galih (Refal Hady) adalah siswa SMA agak pendiam dengan prestasi akademis yang baik, dan itulah satu-satunya jalan agar bisa lanjut kuliah dengan beasiswa, berhubung ia anak yatim dengan penghidupan pas-pasan. Ratna (Sheryl Sheinafia) adalah murid pindahan di SMA-nya Galih, berhubung ayahnya (Hengky Tarnando) akan dinas ke luar negeri jadinya Ratna dititip di mansion-nya tante Tantri (Marissa Anita) di tahun terakhir SMA-nya. Galih dan Ratna saling tertarik satu dengan yang lain karena kesukaan pada musik, khususnya merujuk pada Galih yang masih memutar kaset dengan sebuah pemutar portabel bernama walkman =). Uniknya lagi, Galih ternyata sedang mengelola sebuah toko yang menjual kaset, meneruskan usaha mendiang ayahnya. Tentu saja, di zaman sekarang, toko kaset nggak ada pembelinya, dan kapling tokonya Galih sudah di-listed untuk dijual oleh ibunya (Ayu Diah Pasha). Namun, Ratna memberi dorongan pada Galih untuk mencari cara agar toko tersebut hidup kembali dan berkelanjutan. Sebaliknya, Galih memberi dorongan pada Ratna untuk lebih tekun mengejar cita-cita, yang kebetulan adalah bermain musik. Itu dan sekalian mereka jadianlah. But of course, semua hal itu ternyata bertentangan dengan situasi sekitar mereka yang tak selalu mendukung hubungan mereka ataupun keinginan-keinginan mereka.
Nothing screams nostalgia more than cassette tapes. Buat adek-adek yang nggak tahu, kaset yang dimaksud di sini adalah penyimpan data suara berbentuk pita magnetik, yang dipakai juga untuk menjual rekaman musik sejak tahun 1970-an sampai, untuk kasus Indonesia, tahun 2008-an ketika handphone dengan aplikasi musik serta USB flashdisk sudah bisa dijangkau sebagian besar orang. Sebagai penggemar musik tentu saja gw dulu banyak beli kaset, ya karena nggak sanggup beli CD yang harganya bisa 7 kali lipatnya. Inevitably gw sering juga beli kaset kosong untuk diisi rekaman lagu-lagu dari kaset/CD lain (baik dari koleksi sendiri maupun minjem punya orang) sesuai keinginan gw saat itu, bikin ala-ala album kompilasi Now That's What I Called Music gitu, atau di film ini istilahnya "mix tape"—yang kemudian mendasari gw bikin playlist My J-Pop sampai sekarang, hehe. Alasan melakukan itu teknis aja sih, saat itu belum punya CD changer/CD player di mobil jadi kalau mau denger musik di jalan lebih aman kalau pakai kaset, dan kalau naik angkot bawa portable CD player/discman itu repot jadi kalau kebetulan beli CD gandakanlah isinya ke kaset biar bisa didengarkan di walkman yang ukurannya lebih kecil.
Sebagaimana bisa dilihat, kenangan gw terhadap mix tape memang tidaklah seromantis nostalgia yang dilakukan film Galih & Ratna, yang mengglorifikasi bahwa pilihan lagunya bisa menggambarkan ungkapan hati, hingga fakta tiap track di kaset nggak bisa di-skip. Don't get me wrong, romantisasi kaset di Galih & Ratna cukup gw mengerti, something old dan small yang hampir terlupakan tetapi punya nilai yang lebih kurang dianggap lebih deep daripada metode-metode sekarang yang terlalu terkomputerisasi jadi kesannya kurang upaya. Gw paham, but I don't have to agree, right? Romantisasi bahwa membeli kaset berarti menghargai semua musik yang diberikan artisnya lebih utuh tanpa diskip bisa gw patahkan dengan argumen bahwa mendengarkan kaset pasti tidak akan kontinyu karena akan kepotong oleh perpindahan sisi/side, dan kadang jarak silent dari lagu terakhir side A sebelum beralih ke side B bisa sampai satu menitan—malah gw inget kaset album artis Indonesia yang mengisi silent-nya dengan lagu track pertamanya walau cuma sebagian. Kalau mau langsung lanjut ke Side B harus effort pencet fast forward dan atau ngebalikin dulu kasetnya. Dalam hal ini, sorry, CD wins. Dan in any day, kualitas suara di kaset bukanlah yang terbaik maupun yang paling stabil. Ya nggak apa-apa kalau memang ingin membangkitkan nostalgia zaman kaset, sah-sah aja, tetapi itu berarti sah juga buat gw untuk nggak ikut terlarut sama romantisasi yang dilakukan Galih & Ratna, dan lebih memilih menganggapnya sebagai logika lucu-lucuan anak SMA aja biar filmnya jalan.
Nevertheless, film Galih & Ratna buat gw nggak berada dalam kelompok yang buruk. Dalam penyusunan dan penyampaian karakter dan cerita, film ini termasuk rapi. Dialog-dialognya cukup natural, adegan-adegannya juga, demikian dilema yang harus dialami tokoh-tokoh utamanya, serta inklusi musik dalam ceritanya, semuanya cukup bisa gw terima tanpa perlawanan, nggak ada yang dilebih-lebihkan sebagaimana penyakit banyak film Indonesia tentang kehidupan masa SMA. Persoalan yang diangkat tetap dalam lingkup cinta, akademi, masa depan, dan keluarga, yang diporsikan dengan seimbang, lengkap dengan drama maupun humornya yang cukup kena banyak. Dimasukkannya unsur masa kini dengan hadirnya media sosial, serta perbedaan "dunia" Galih dan Ratna secara ekonomi, digambarkan cukup wajar. Gw juga nggak bisa mengelak bahwa beberapa bagian film ini cukup membangkitkan kenangan masa SMA, mungkin secara khusus adalah bagian razia barang di sekolah hehehe. Sebagai film yang bercerita, gw nggak ada komplain.
Yang gw cukup ada komplain adalah tampilan dan kemasan dari semuanya. Kalau boleh sebentar lihat lagi posternya, gw genuinely akan susah percaya bahwa Refal dan Sheryl adalah anak SMA. Iya gw tahu sih bahwa mungkin itu mewakili kecenderungan anak SMA Indonesia sekarang yang mukanya tua-tua *thanks, KFC*, tetapi apa salahnya kalau si lakinya agak dikurangi distribusi bulu di mukanya biar agak mudaan. Gw juga melihat missed opportunity dari segi visual yang terlalu "straightforward", kalau nggak mau disebut flat, baik itu pemilihan lokasi, dekorasi, ataupun angle gambar. Gambar yang bisa benar-benar gw nikmati hanyalah di adegan-adegan toko kaset vintage-nya Galih. Sisanya...entahlah, mungkin buat gw perpaduan warna serba biru-abu-ijo muda-putih agak kurang complementary dalam sebuah kisah roman remaja. Satu lagi, dari sekian banyak pembahasan mix tape dan kaset-kaset yang tampak di layar, ternyata yang berkesempatan diperdengarkan dari semua itu hanyalah "Sakura"-nya Fariz RM. Mungkin memang repot kalau dari segi hak cipta, tapi ya masak dari sekian banyak kaset satu lagu doang yang boleh didengar penonton—tolonglah Sony Music Indonesia itu katalog lagu-lagu akhir 1990-an dan awal 2000-annya pinjemin napa, masak cover kasetnya doang yang nongol. Maunya bisa tribute sama rilisan-rilisan era kaset jadinya kentang 'kan =(. Dampaknya buat gw, konsep dan makna mix tape jadinya masih berupa konsep saja. Film ini mungkin akan lebih alive jika menunjukkan kelihaian Galih dan Ratna memilih lagu yang sesuai pesanan teman-temannya, lagu-lagu yang memang dikenal dan sudah ada di era kaset. Tapi ya sudahlah, repot juga sih emang administrasinya buat beginian.
Entah gw-nya aja yang hard to please, tetapi ini hal-hal kecil tersebut cukup merintangi gw untuk benar-benar "merasakan" film ini. Penghargaan gw ternyata hanya terhenti pada bagaimana film ini bercerita dengan lancar, juga kepada akting para pemainnya (di luar tampilan fisik) yang sesuai dengan tuntutan cerita, which is important enough. Plus kecermatan dalam product placement-nya hehe. Selebihnya, gw hanya kurang terkesima, nggak mendapati pesonanya, masih berjarak aja, kenikmatan saat menyaksikannya kurang terasa paripurna, dengan alasan sebagaimana gw sudah paparkan di atas. Gw menebak mungkin film ini memang dimaksudkan sebagai film yang dibuat nggak neko-neko, apa adanya saja, tanpa muatan yang terlalu ini dan itu, tanpa kemasan yang "gimana-gimana", yang berbeda dengan film Lucky Kuswandi sebelumnya, misalnya. Kalau memang itu, ya film ini sudah mencapainya, tapi ya itu saja.
My score: 7/10