Logan(2017 - 20th Century Fox)
Directed by James MangoldScreenplay by Scott Frank, James Mangold, Michael GreenStory by James MangoldBased on the Marvel Comics charactersProduced by Simon Kinberg, Lauren Shuler Donner, Hutch ParkerCast: Hugh Jackman, Patrick Stewart, Dafne Keen, Boyd Holbrook, Richard E. Grant, Stephen Merchant, Elizabeth Rodriguez, Eriq La Salle, Elise Neal, Quincy Fouse, Jason GenaoGw selalu menganggap
franchise film X-Men adalah pelopor film
superhero komik dengan pendekatan realis,
grounded,
dark, etc etc, dan selalu terbawa di setiap judul filmnya yang sudah mencapai enam film untuk X-Men, ditambah dua film
spin-off tentang sosok Wolverine.
Franchise ini alami pasang surut dalam hal tingkat kepuasan terhadap setiap filmnya, tapi buat gw sih yang terburuk masih pada saat
franchise ini menyorot Wolverine dalam film solo tetapi isinya sama aja kayak film X-Men biasa—tentu saja gw merujuk pada
X-Men Origins: Wolverine (2009) -_-. Salah satu titik kesalahannya adalah Wolverine yang dikenal perangainya buas, terutama seelum gabung di X-Men, nggak diberi kesempatan untuk menunjukkan sifat-sifatnya itu di film tersebut. Namun, memang untuk menunjukkan begituan dalam sebuah film
blockbuster bukan perkara gampang,
you know, karena biasanya ditargetkan untuk penonton mulai usia remaja biar potensi pendapatannya lebih tinggi, dengan kompensasi konten filmnya nggak bisa terlalu sadis atau kasar.
Somehow, sekuel film tersebut,
The Wolverine (2013) cukup sanggup mengatasinya, walau masih belum melanggar formula "
blockbuster-jangan-sadis-sadis-amat-entar-pendapatan-turun" itu.
Kemudian tiba-tiba muncullah film
Deadpool (2016), film
superhero juga dari
universe X-Men yang konten kekerasan dan
dark comedy-nya amat tidak pantas untuk yang di bawah umur, tapi sukses besar di pasaran. Entah karena penonton generasi X, Y, Z, atau milenial apalah kini umurnya udah pada cukup sehingga segmen ini jadi membesar, yang pasti Deadpool membuktikan film
superhero dengan konten lebih dewasa bisa juga laku. Begitu hal serupa hendak diterapkan ke Wolverine, tentu saja menurut gw itu keputusan yang tepat. Maka hadirlah
Logan, film ketiga tentang sosok Logan alias Wolverine. Senangnya adalah film ini bisa lebih leluasa dalam memilih cerita seperti apa yang layak disematkan terhadap sosok Wolverine, tanpa terbebani harus sama formulanya dengan film
superhero lain yang ada di luar sana, juga tanpa harus dibatasi ketakutan konten cerita, bahasa, dan adegannya terlalu dewasa.
Lalu terpilihlah kisah berlatar masa depan, semacam era post-mutant, karena kaum mutan yang memiliki kekuatan khusus sudah hampir punah akibat sebuah bencana besar yang tak dijelaskan tapi gw sih bisa kira-kira *congkak*. Tahun 2029, Logan (Hugh Jackman) masih suka mabuk dan kini jadi semacam sopir Uber, tetapi kini tampak semakin tua dan kemampuan pemulihan dari segala luka semakin lambat—padahal seharusnya dia nggak bisa tua atau mati, wong umurnya aja nyaris tiga abad, mungkin masih ada efek prosedur yang dijalani di film The Wolverine *ya sambung-sambungin ajalah daripada pusing mikirin timeline cerita franchise ini yang emang nggak pernah konsisten =P*. Logan bekerja mencari uang bukan untuk diri sendiri, karena dia ternyata mengurus Professor Charles Xavier (Patrick Stewart), kini berusia 90 tahun dan mengalami penyakit semacam pikun yang membuatnya nggak bisa mengendalikan kekuatan telepatiknya, selain tentu saja dia masih nggak bisa jalan sendiri. Rencananya, jika uang sudah cukup, Logan akan membawa Professor X agar habiskan sisa usianya di tengah lautan, yah hitung-hitung kalau kekuatannya kambuh nggak akan membahayakan orang.
Namun, seperti biasa, setiap kali ingin meninggalkan dunia persilatan, dunia persilatan itu selalu mendatangi kembali. Logan tiba-tiba kedatangan seorang perawat bernama Gabriela (Elizabeth Rodriguez) yang meminta Logan membawa seorang gadis kecil yang enggan bicara, Laura (Dafne Keen) ke tempat perlindungan para mutan bernama Eden. Laura ternyata punya kemampuan mirip Logan--ada cakar di tangan dan kakinya, tetapi dia ternyata bukan mutan biasa. Juga sama seperti Logan, Laura diincar oleh sekelompok mercenaries yang dipekerjakan oleh Alkali, perusahaan yang dulu melakukan eksperimentasi terhadap Logan dan menanamkan logam terkuat adamantium pada tulang dan cakarnya. Logan dan Professor X akhirnya memutuskan berusaha membawa Laura ke Eden, yang sebenarnya belum jelas apakah benar-benar ada atau hanya mitos saja.
Dari segi apapun, film Logan memang dibuat dan ditampilkan sangat berbeda dengan film-film X-Men dan practically film-film superhero Hollywood yang ada di era milenium ini. Logan selayaknya sebuah film drama laga "kecil-kecilan", maksud gw dari penokohannya hanya konsen pada Logan dan beberapa orang sekitarnya, lalu cerita berjalan model perjalanan ke suatu tujuan melewati pedalaman Amerika nan sunyi, sembari dikejar oleh pihak-pihak berbahaya. Mirip film-film drama kriminal atau film koboi, hanya saja di dalam universe X-Men. Di luar garis cerita yang cukup sederhana--dan agak mengulang semua film-film Wolverine tentang mutan dan pihak berkuasa nan tamak, gw melihat film ini lebih menekankan pada penciptaan dinamika hubungan antara tiga karakter utamanya: Logan, Professor X, dan Laura. Lelahnya Logan dan Professor X digambarkan dalam adu dialog layaknya kakek-kakek cranky--dan dimainkan dengan luar biasa oleh Jackman dan Stewart, dan juga bagaimana keduanya mendidik Laura yang masih seperti manusia baru keluar goa. Bila film ini diniatkan lebih intim kepada karakternya, juga skala yang personal dan emosional, maka hasilnya tepat seperti demikian.
But, dan entah kenapa buat gw selalu ada 'but' di film-film X-Men, Logan bukannya tanpa problem. Gw begitu tertarik sama pembawaan film ini dari awal hingga sekitar sejam pertama, karena atmosfernya yang beda tadi. Namun, tadi gw sempat singgung ada perulangan plot tentang mutan yang diincar pihak-pihak berkuasa for whatever reason, dan buat gw itu agak berpengaruh sama adegan klimaksnya yang...yah, pastilah begitu-begitu lagi. Untungnya adegan ini dirancang tetap dengan style yang konsisten sepanjang film, lebih membumi karena emang di atas tanah, nggak over-the-top namun masih intens. Tapi ada problem lain, di babak ketiga, atau menjelang akhirlah, kerasa banget laju film ini dibikin makin lama makin merayap sebelum sampai di adegan puncak, setelah ada perubahan "formasi" karakternya. Gw kurang paham kenapa pilihannya begitu, karena buat gw kalau semua belokan cerita dan misterinya udah terungkap dan udah tahu arahnya, mau tunggu apa lagi, kenapa harus direm segitunya. Sedikit trimming seperti pada rambutnya Logan akan lebih mantep deh.
That being said, film ini nggak nyuekin tugasnya sebagai film superhero yang harus memperhatikan unsur laganya. And oh boy they're legit! Sebagaimana sudah disinggung di atas, adegan kelahinya ditata dengan keras dan brutal, plus karena ini emang dirancang sebagai tontonan di atas umur =p, akhirnya bisa melihat kebrutalan Wolverine dengan darah dan potongan tubuh dan tusukan di tempat-tempat yang bikin ngilu, sebagaimana telah ditunggu-tunggu dari sosok ini--bukan yang agak lawak kayak Deadpool juga. Adegan-adegan ini pun nggak ditaruh sembarang, porsinya dan posisinya selalu tepat, dan nggak berat efek CGI, sehingga buat gw sih lebih menggigit aja dari film-film X-Men sebelumnya. Itu termasuk sebuah adegan car chase dari parbik tua padang gurun yang fenomenal sensasinya. Pokonya, at last, karakter Wolverine yang beringas sekaligus simpatik diperlakukan dengan layak di layar lebar, dan itulah pencapaian terpenting dari film ini.
My score:
7/10