Dear Nathan(2017 - Rapi Films)
Directed by Indra GunawanScreenplay by Bagus Bramanti, Gea RexyBased on the novel by Erisca FebrianiProduced by Gope T. SamtaniCast: Amanda Rawles, Jefri Nichol, Surya Saputra, Ayu Diah Pasha, Rayn Wijaya, Diandra Agatha, Beby Tsabina, Chicco Kurniawan, Karina SuwandiSebagaimana anggota penonton di luar target demografinya, mudah bagi gw untuk jatuh pada prasangka bahwa Dear Nathan adalah film alay. You know, palingan cuma anak-anak baru gede aja yang akan demen. Apalagi kalau bukan kisah cewek (yang digambarkan manis) ketemu cowok (yang digambarkan bandel) di sekolah, keduanya dengan nama-nama fancy berhubung ceritanya berdasarkan novel, muncul benih-benih cinta serta berbagai rintangan dan halangan yang harus mereka hadapi untuk cinta bertumbuh. Dan, memang, pola cerita itu masih dipakai di film ini. But "alay"? Belum tentu. Penggarapan dan taste ternyata ngaruh banget sama bagaimana hasil akhir sebuah film meski pola kisahnya daur ulang yang sudah-sudah, dan ini terbukti di Dear Nathan.
Sedikit tentang plotnya, film ini berkisah tentang hubungan Salma (Amanda Rawles) yang termasuk siswi SMA baik-baik dengan Nathan (Jefri Nichol) yang kerap bermasalah, baik di lingkungan sosial maupun di keluarganya yang ternyata menyimpan banyak tragedi. Hubungan mereka nggak sepenuhnya didukung oleh circle mereka, demikian pula diramaikan oleh (tentu saja) sosok-sosok lain yang ingin merebut hati Salma maupun Nathan.
Yang menarik adalah bagaimana kisah biasa dan terlalu familier itu bisa dituturkan tetap dengan enak dan believable. Film ini pandai memilih fokus, sekalipun packed dengan berbagai persoalan yang khas anak-anak SMA--cinta-studi dan everything in between, konflik-konflik yang dihadirkan bukan berarti harus digelontorkan segambreng biar kesannya rumit, or even diada-adain. Salah satu pilihan yang gw rasa tepat adalah biarlah karakter yang banyak masalah hanya Nathan, yang memang cukup fungsional dalam menggerakkan ceritanya, nggak perlu ditambah-tambahin dengan baggage-nya Salma--hanya secara subtle ditunjukkan dia cuma punya ibu, nggak juga perlu persoalan rebutan pacar atau bertengkar sama teman diperpanjang dengan terlalu.
Di luar itu, gw merasakan ada kombinasi yang works antara angle penuturannya yang memang dari anak SMA tentang anak SMA, dengan kedewasaan dalam memandang persoalan yang terjadi. Ini bukan cerita tentang orang dewasa dari fantasi anak SMA, atau tentang anak SMA dari ingatan terdistorsi orang dewasa, yang seringkali membuat film-film seperti ini kurang imbang hasilnya. Di satu sisi, dialog-dialog, ekspresi, interaksi, serta kegiatan keseharian yang digambarkan terbilang sangat wajar terjadi di usia-usia SMA, lagi-lagi gw harus pakai kata believable di sini, karena memang demikian. Di sisi lain, gw nggak merasakan film ini meng-indulge melankolisme bahwa persoalan cinta remaja adalah pertaruhan hidup-mati, tetapi just a period of life, karena masih ada persoalan akademik, persoalan keluarga, persoalan ekonomi, yang mungkin sama atau lebih penting. Namun, juga nggak sertamerta meredamkan unsur emosi.
Kesan paling kuat yang gw dapat adalah film ini membalikkan prasangka buruk gw sebelumnya. Nggak nyangka bahwa kualitasnya ternyata cukup matang dan sangat bertanggungjawab, terutama sebagai film drama roman remaja, nggak menghina logika, nggak alay, dan nggak nyangka bahwa gw bisa enjoy. Teknisnya juga sekilas tampak kayak sederhana tetapi masih kerasa ada upayanya, contoh dari kekompakkan warna visual dari desain produksi dan sinematografinya, nggak mencolok tapi tertata. Di antara film-film roman tentang remaja atau target penonton remaja yang gw tonton dalam tahun-tahun belakangan ini, mungkin Dear Nathan-lah yang paling nggenah.
My score:
7,5/10
ADS HERE !!!