David Fincher, Michael Bay, dan Tarsem Singh. Mereka bertiga adalah sutradara film yang sebelumnya dikenal sebagai sutradara video musik (dan iklan) terkemuka di era 80-90-an.
Sekarang, David Fincher jadi sutradara nomine Oscar (
The Curious Case of Benjamin Button,
The Social Network), Michael Bay punya film-film yang laku keras di dunia (Bad Boys, Armageddon, Transgenik...eh Transformers), sedang Tarsem Singh dihina dina atas apapun hasil usahanya di bidang film bioskop: laku juga nggak terlalu. Filmografi Tarsem memang sedikit, diawali dari horor surealis The Cell, lalu
passion project independen
The Fall yang diputar terbatas. Kedua film itu meski tidak laris, tapi mengukuhkan gaya khas Tarsem dalam menampilkan visual yang unik nan memukau layaknya lukisan dan instalasi seni. Lalu kesempatan Tarsem untuk lebih
mainstream datang lewat
Immortals milik Relativity Media, dan gw sepertinya salah satu dari hanya sedikit orang yang suka filmnya (walau secara
box office terbilang lumayan). Relativity Media rupanya kesengsem sama Tarsem (
hey that's a rhyme) sehingga dipercaya untuk mengangani proyek
re-telling dongeng Snow White atau Putri Salju (atau harusnya PUTIH Salju bukan sih?), diberi judul Mirror Mirror yang rilis nggak sampe 4 bulan sejak Immortals. Berbeda dengan Immortals yang
action-adventure untuk dewasa, maka Mirror Mirror ini sangat ditekankan sebagai film komedi fantasi untuk semua umur. Berdasarkan sejarah, film ini juga pasti bakal tidak disukai banyak orang entah kenapa (
I really don't see it, why fellas?), tapi berdasarkan sejarah juga gw sih kayaknya bakal tetap suka setidaknya dengan harapan akan gambar-gambar keren khas Tarsem.
Kisah terkenal Snow White ini dirombak cukup besar. Ratu (Julia Roberts) dan Snow White (Lily Collins) tidak "berseteru" karena masalah siapa-yang-paling-cantik lagi, namun dipicu oleh Ratu yang menyalahgunakan tahta kerajaan sampe bangkrut dan menyengsarakan rakyat, sehingga Snow protes. Perseteruan mereka meruncing karena kedatangan Pangeran Alcott (Armie Hammer) dari negeri seberang yang kaya raya.
Yes, Snow dan Pangeran saling jatuh cinta, tapi si Ratu juga naksir Pangeran dan ingin segera menikahinya sekalian biar keuangan kerajaan pulih kembali. Untuk melancarkan rencana itu, Snow harus disingkirkan, maka Ratu menyuruh tangan kanannya, Brighton (Nathan Lane) untuk membunuh Snow di hutan, tapi karena ciut, Snow dibiarkan lari sampai akhirnya terdampar di sarang 7 perampok bertubuh kerdil. Jadi kita tinggal tunggu Ratu kucluk-kucluk dateng ke Snow trus kasih apel beracun sampe mati suri hingga ciuman sang pangeran membangkitkan?
Not so fast, Snow justru dilatih oleh 7 perampok itu pelbagai keterampilan, termasuk ilmu pedang, agar dapat ikut merampok uang dan harta dari kereta kerajaan yang lewat lalu membagikannya ke rakyat, sebagai bentuk pemberontakan mereka terhadap kesewenang-wenangan Ratu. Dan ketika Snow dan 7 perampok mengacaukan pernikahan Ratu dengan menculik Pangeran (yang sudah dipelet Ratu),
well...this is war.
Kita bisa melihat cerita Snow White dalam Mirror Mirror ini dibuat berbeda. Perkembangan karakternya diubah, alur ceritanya pun seperti ditambahkan dimensi modern supaya poin-poin cerita yang sudah lazim diketahui terlihat punya motivasi yang nggak tiba-tiba ada—jadi si Snow White sama Pangeran nggak hayuk aja baru ketemu langsung jadian. Menurut gw sih ini cara yang lumayan efektif dalam menceritakan ulang kisah yang sangat akrab di masyarakat, biar ada
twist dan penyegaran dikit. Snow White tidak dibuat lemah tak berdaya, malahan ia beraksi untuk tujuan mulia (ini sih agak minjem cerita Robin Hood ya). Percikan cintanya dengan Pangeran dibangun sejak awal film, malahan dalam keadaan Snow yang berjasa kepada Pangeran. Yang paling beda tentu saja pendekatan terhadap tokoh Ratu yang dibuat jahat-judes-comel ala ibu-ibu sosialita, serta 7 kurcaci yang sebenarnya kumpulan orang-orang terbuang dari kota yang harus menanggung hidup dengan merampok pake
extension tungkai biar lebih sangar =P (ini katanya pake
stunt dari Cirque du Soleil).
|
Snow White and her Merry Men |
Untunglah dua hal yang paling berbeda itu hasilnya menggembirakan, bahkan menurut gw mereka jadi
highlight film ini. Julia Roberts beruntung mendapat peran penjahat (mungkin pertama kalinya,
except if you count Closer) yang komikal, kuat bukan semata-mata karena sihir melainkan karena ia memang licik (rakyat segan sama dia karena ia melindungi mereka dari
beast di hutan, dan juga alasan mengapa negeri mereka musim salju terus-terusan), dan sering mengujarkan kalimat-kalimat
witty, kayaknya nyatu banget sama sosok Julia, pertama kali gw melihat Julia cocok cok sama perannya sejak Erin Brockovich (hehe). Gw pun senang sekali ketujuh kurcaci/perampok mini diberi porsi yang signifikan dan berkesan dengan karakter masing-masing yang jelas dan terarah (perhatikan Half-Pint (Mark Povinelli) yang berusaha ngerayu Snow ^_^). Mungkin kita gampang aja ketawa hanya karena mereka mini, namun pembawaan para aktor mini yang luar biasa (serius,
they're better than Armie Hammer =P) membuat mereka jadi
lovable sekaligus keren. Sedangkan pemain lainnya bermain aman, akting Lily Collins nggak jelek, nggak cuman modal tampang (
though she is pretty =)), Armie Hammer juga seperti udah punya setelan "Pangeran negeri dongeng",
at least mereka nggak ganggu lah.
Overall, menurut gw merasa nggak ada yang perlu benar-benar dikomplain dari Mirror Mirror ini. Jika tujuannya adalah menghibur melalui kisah Snow White dengan gaya semi-parodi, memang berhasil, gw merasa terhibur kok. Tontonlah dengan lepas tanpa pretensi apa-apa. Nggak ada salahnya bersenang-senang dengan mengacak-acak kisah dongeng terkenal dengan memakaikan kostum serumit desain manga CLAMP biar lebih lucu asalkan nggak jadi kacau. Humornya baik verbal maupun fisik bisa bikin cekikikan,
timing-nya pas nggak terlalu maksa, aman untuk anak-anak namun nggak kekanak-kanakan sehingga tetap menyenangkan untuk penonton remaja/dewasa. Ceritanya nggak sulit diikuti, lajunya enak, dan tokoh-tokohnya cukup meninggalkan kesan. Visual efeknya pun terbilang bagus. Komplain gw justru tertuju pada kurang memancarnya keindahan visual seperti film-film Tarsem sebelumnya. Memang kostum dan tata artistik spektakuler ganjil mencolok mata masih terlihat, tetapi tampilannya di layar tidak seindah biasanya. Apa mungkin karena waktu produksinya terlalu cepat?
O well, penuturan dan porsi humornya yang menyegarkan bolehlah menjadi kompensasi yang
fair. Gw nggak terlalu kecewa karena film ini hasilnya sesuai dengan tujuannya: menghibur, menyenangkan tanpa mencelakakan—
a kind of film Disney should have made instead of more Pirates. Dan apa yang lebih menyenangkan daripada menyaksikan penghuni istana menari ala Bollywood menyanyikan "
I believe I believe I believe I believe in love, love...love, love, love...!" =)
My score:
7/10