My Week with Marilyn(2011 - The Weinstein Company/BBC Films/Trademark Films)Directed by Simon CurtisScreenplay by Adrian HodgesBased on the diaries by Colin Clark (published as books entitled "My Week with Marilyn" and "The Prince, The Showgirl and Me")Produced by David Parfitt, Harvey WeinsteinCast: Eddie Redmayne, Michelle Williams, Kenneth Branagh, Dominic Cooper, Zoë Wanamaker, Emma Watson, Judi Dench, Julia Ormond, Toby Jones, Dougray Scott, Derek Jacobi, Robert Portal, Philip JacksonAlmarhumah aktris Marilyn Monroe begitu ikonik dalam dunia hiburan, sehingga ia tetap bersemayam di ingatan banyak orang meski hidup dan karirnya yang cemerlang itu hanya pendek saja—beliau meninggal umur 36 konon karena overdose obat-obatan. Memulai karir sebagai aktris film-film Hollywood di sekitar tahun 1950, tak butuh waktu lama para produser dan penonton tersihir oleh pesonanya lewat ekspresi dan gerak-geriknya yang genit nan sensual, dan...ya, konon juga jadi objek mimpi-mimpi basah kaum lelaki kala itu. Kisah hidupnya memang begitu menarik sehingga sudah banyak pihak yang mencoba membahasnya dalam media fiksi, termasuk dalam film bioskop, FTV, hingga yang masih agak fresh adalah serial musikal TV "SMASH". My Week with Marylin sendiri bercerita hanya tentang Marilyn dalam rentang waktu selama syuting film The Prince and the Showgirl bersama seniman peran terkemuka Inggris, Laurence Olivier. Memangnya apa menariknya? Well, film ini adalah tentang Marilyn dari sudut pandang seorang 3rd Assistant Director alias kacung produksi film tersebut.
Colin Clark (Eddie Redmayne) terlahir di keluarga nobleman di Inggris, namun tak seperti saudara-saudaranya, Colin lebih memilih merintis jalan agar bisa berkiprah di dunia yang nggak ningrat, yakni produksi film. Bukan berarti status kelas atas yang dimilikinya gak berperan sama sekali, pertemuan singkatnya di masa lalu dengan pasutri aktor-aktris Inggris ternama Laurence Olivier—bintang film Rebecca dan Henry V (pretend that I know what I'm talking about =p)—(diperankan oleh Kenneth Branagh) dan Vivien Leigh—bintang Gone with the Wind—(diperankan oleh Julia Ormond) ternyata berhasil membuatnya dapat kerjaan di produksi film Olivier terbaru meski hanya sebagai seksi tersuruh bertitel 3rd Assistant Director. Biarpun begitu, Colin tetap antusias, apalagi ia bekerja dengan aktor-aktor papan atas, namun highlight-nya tentu saja bertemu dengan bintang Hollywood yang lagi hot-hot-nya, Marilyn Monroe (Michelle Williams). Colin yang begitu tulus dan perhatian rupanya menarik hati Marilyn untuk dijadikan teman jalan dan ngobrol. Dengan kebersamaan mereka yang pada awalnya adalah supaya Marilyn merasa nyaman untuk mau terus syuting ketika hubungannya dengan sang suami ketiga, Arthur Miller (Dougray Scott) sedang bermasalah, Colin pun perlahan melihat sendiri Marilyn yang sangat rapuh dibalik senyuman merekah dan status superstar-nya, tak pelak benih-benih cinta mulai bersemi dalam hati Colin, namun akankah berambut..eh..bersambut?
Yah, bisa dibilang ini kisah nyata. Tetapi karena tuturannya subjektif, jadi bisa saja yang terjadi sebenarnya tidak persis seperti yang diceritakan. Maka dari itu daripada dibilang si Colin Clark ini cuman stalker yang kebanyakan ngharep, di awal film udah dibilang "this is THEIR true story", nyata dan benar menurut pelakunya. My Week with Marilyn sendiri memang benar-benar diceritakan menurut sudut pandang Colin, setiap adegan pasti ada Colin-nya, entah itu ia terlibat adegan atau sekadar curi dengar, nggak pernah ada adegan "meanwhile in...". Film ini menceritakan sebuah rangkaian pengalaman tak terlupakan bagi Colin yang terdiri dari dua pembahasan utama: perkerjaan perdana di dunia yang jadi passion-nya; dan even more, ia menjadi orang kepercayaan Marilyn Monroe selama syuting di Inggris. Tak hanya memperlihatkan sekilas proses syuting film kala itu (1950-an di Inggris) dan juga cara-cara mendatangkan bintang besar seperti Marilyn yang butuh effort besar, film ini dengan gamblang menunjukkan perbedaan etos kerja dan disiplin aktor-aktor Inggris (yang hampir seluruhnya lulusan teater), dengan Marilyn yang "lulusan" Hollywood yang butuh waktu mencari feel yang tepat untuk perannya saat syuting. Laurence Olivier yang menjadi sutradara sekaligus lawan main Marilyn lambat laun geram dengan Marilyn, atau setidaknya dengan etos kerjanya. Marilyn tentu jadi merasa nggak enak dan semakin tertekan, namun untungnya masih ada aktris senior Sybil Thorndike (Judi Dench) dan Colin yang membuatnya merasa mendapat support. Sedangkan hubungan Marilyn dan Colin memang seperti di-set buat romansa sesaat, namun lebih daripada itu bagian ini berniat menguak pribadi Marilyn yang sesungguhnya.
Marilyn yang ramah, belagak polos dan genit, selalu tersenyum ceria di mata publik dan tampak selalu menikmati ketenarannya di mana pun, adalah juga Marilyn yang labil emosinya, menganggap tidak ada orang yang benar-benar mengerti dirinya, dan pada era ini juga ia mulai mengkonsumsi pelbagai macam obat penenang. Sebuah pribadi yang kompleks, namun aktris alumni "Dawson's Creek", Michelle Williams (bukan personel Destiny's Child) berhasil membawakan peran berat ini dengan luar biasa
believable. Terlepas dari bentuk fisik yang tidak mirip, bibir yang kurang penuh, dan bentuk mata yang kurang sayu, namun ketika menyaksikan Michelle, gw sejenak lupa seperti apa sosok Marilyn aslinya. Sama seperti perasaan gw ketika menyaksikan Morgan Freeman jadi Nelson Mandela di
Invictus, pada saat menonton My Week with Marilyn, bagi gw Michelle-lah Marilyn. Ya, sebaik itulah performa yang membawa Michelle mendapatkan nominasi Oscar untuk ketiga kalinya ini. Lawan akting terbaik Michelle dalam film ini adalah Kenneth Branangh yang sukses luar biasa memerankan seorang tokoh sebesar Laurence Olivier yang tegas namun berhati emas namun harus diuji kesabarannya ketika menghadapi Marilyn.
Well, actually, mengingat film ini 95% dipenuhi aktor-aktor Inggris tentu sudah jadi semacam jaminan bahwa film ini nggak akan mengecewakan dalam bidang akting—ya seperti digambarkan juga dalam film ini. Eddie Redmayne, meski tidaklah mencuat, tetap berhasil membawakan perannya yang begitu
excited akan segala hal tapi nggak sampe norak, begitu pula penampilan Emma Watson yang berhasil meninggalkan hari-hari Harry Potter
behind her tanpa harus ambil peran terlampau aneh (*lirik Radcliffe*). Judi Dench juga tetaplah seorang Judi Dench yang mungkin disuruh akting jadi pohon pun tetep akan keren.
Sedangkan dalam bidang lainnya, it would be fair untuk bilang My Week with Marilyn tampil begitu nyaman dan mengasyikan, entah dari dialognya, karakterisasinya, maupun laju ceritanya yang tidak terlalu cepat maupun lambat, bervolume dengan kedalaman karakternya meski tampak ringan, serta dibungkus oleh kelengkapan teknis audio+visual+desain+musik yang juga nyaman nggak cemen. Sebuah usaha yang apik dari sutradara Simon Curtis yang menjadikan film ini sebagai film bioskop pertamanya setelah sebelumnya kenyang pengalaman mengarahkan drama televisi di UK (dan film ini dipersembahkan oleh BBC Films, masuk akal). Ada sayangnya juga sih, ketika menjelang akhir film ini berusaha memberi petuah-petuah sebagai penanda filmnya akah berakhir, nggak alami rasanya. Padahal di dari awal-awal hingga mendekati akhir segala sesuatu terlihat natural, bagian-bagian akhirnya jadi terkesan sangat dibuat-buat. Juga tentang penyelesaian hubungan Colin-Marilyn yang cukup membingungkan, namun ini bisa saja demi menggambarkan kompleksnya pribadi dan jalan pikiran Marilyn Monroe, istilahnya penonton diajak bingung bareng-bareng Colin. Kali aja. O well, nevertheless, dengan performa akting yang superb dan pengisahan yang easy-going, My Week with Marilyn, meski hanya menceritakan secuil bagian hidup Marilyn Monroe, adalah sebuah karya yang cukup komplit untuk mengenang dan mengenal sang simbol seks dan dunianya lebih dekat, terlebih dari sudut pandang orang yang pernah mengasihinya.
My score:
7,5/10