Rumah di Seribu Ombak(2012 - Tabia Films/Winmark Pictures)Directed by Erwin ArnadaScreenplay by Jujur PranantoBased on the novel by Erwin ArnadaProduced by Ella SH, Erwin Arnada, Eko KristiantoCast: Risjad Aden, Dedey Rusma, Lukman Sardi, Bianca Oleen, JRX SID, Riman Jayadi, Andiana Suri, Andre JulianFilm dibuka dengan adegan seorang anak muda memandangi indahnya samudera dari pinggir pantai sembari menyandarkan tangan pada papan selancarnya. Nama lelaki ini adalah Samihi (Andre Julian), dan dalam pose itu ia bercerita kepada penonton tentang suatu masa ketika ia kecil, tepatnya 9 tahun sebelumnya, ketika dirinya (Risjad Aden) bersahabat dengan Yanik (Dedey Rusma), persahabatan yang mengubahkan hidupnya untuk selamanya. Anak-anak ini tinggal di Singaraja, itu yang letaknya di ujung Utara pulau Bali (kali aja ada yang nggak tau), di sana terletak pantai Lovina yang menjadi spot turis untuk melihat lumba-lumba lewat. Yanik bekerja sebagai pemandu turis lumba-lumba sebagai usaha membantu ibunya mencari penghasilan (di Bali "ibu" memang dipanggil "meme", I wonder if it's going to be bleeped when screened in Bandung =P) akibat kesulitan biaya hidup semenjak ditinggal ayahnya, dan karena ini pula Yanik berhenti sekolah. Samihi pun punya latar belakang yang cukup tragis, mempunyai kakak yang meninggal karena suatu kejadian di laut, lalu menyusul ibunya wafat akibat kesedihan mendalam. Satu hal yang dipegang erat oleh Samihi dan adik perempuannya, Syamimi (Bianca Oleen) yaitu pesan sang ibu untuk tidak main di dalam air. Kisah pun berjalan mengikuti hari demi hari persahabatan Samihi dan Yanik yang juga berbeda keyakinan dan budaya itu, saling membantu dan berbagi suka duka.
Rumah di Seribu Ombak memang pada hakikatnya hanya bercerita tentang hari demi hari persahabatan dua orang anak ini. It's kinda sweet though, memperlihatkan bahwa Samihi dan Yanik bisa saling menerima tanpa prasangka meski berbeda cara hidup. Alir pengisahan film ini memang agak mendayu-dayu dan tenang setenang ombak pantai Utara Bali. Jika mau berkomentar objektif, film ini sebenarnya fine-fine saja, tidak ada masalah besar dalam segala unsurnya. Cuma...karena ini blog pribadi dan gw tidak dibayar untuk jadi objektif =P, gw boleh dong berkata bahwa...hmm, gimana ya...let's say I just don't "feel" this film. Mungkin gw-nya udah beku hati, tapi gw tidak merasakan ada yang "mengguncang" dari kejadian-kejadian yang mereka alami. Bahkan rahasia traumatis yang dimiliki Yanik kurang menimbulkan kegelisahan yang berarti. Mungkin ini disebabkan oleh kekakuan dalam eksekusi adegan-adegannya *sokbangetgayagw*, emosinya jadi nggak nyampe ke gw. Juga gw nggak melihat bahwa semua kejadian yang terjadi pada Samihi dan Yanik kecil berkaitan dengan hal yang seharusnya menjadi sumbu jalan ceritanya (menurut gw sih), yaitu Samihi yang dilarang main air akhirnya setelah gede malah berani berselancar. Namun, pada akhirnya tidak semua peristiwa yang dimunculkan mengarah ke sana. Dan ketika kembali kepada masa 9 tahun kemudian juga, selain terasa di-stretch gak kelar-kelar, gw agak nggak nyaman dengan sudut pandang pengisahan yang berpindah begitu saja, seakan mic si pencerita direbut oleh orang lain dengan paksa. Bagian ending-nya pun sayangnya jadi terasa tiba-tiba, karena alasan-alasan menuju ke sananya tidak ditekankan sebelum-sebelumnya...yup, sekalipun udah pake surat sekalipun. Agak ironis ketika filmya terasa lambat tetapi motivasi peristiwa terpentingnya malah felt too instant. Well, at least the "digital lightning" effects were cute =P.
But anyway, sebagaimana gw bilang sebelumnya, film ini tidak punya masalah yang gimana gitu. Gw-nya doang kali yang salah mood. Secara teknis film ini juga nggak terlalu masalah. Audio visualnya termasuk kualitas oke. Sudut pengambilan gambarnya cukup cakep, tapi gw agak kurang sreg aja sama efek pewarnaan ulang dari gambar-gambarnya—jadi gambarnya tuh nggak terlihat natural, mungkin memang sengaja tapi, gimana yah, mungkin karena gw kurang suka yang nggak natural *apadeh*, kesannya juga kayak "digelapkan" ketika disaksikan di layar. Jadi meskipun ada gambar pemandangan, tidak akan seperti fotografi dengan warna cemerlang. Oh, dan satu shot yang CGI-heavy di akhir itu kayaknya nggak perlu deh =P.
Dari jajaran pemerannya yang sebagian besar pemain baru, tak mengherankan yang mainnya paling bagus ya Lukman Sardi sebagai ayah Samihi yang sukses selalu memberi
depth dalam tiap kemunculannya. Yang jadi Andrew si bule Belgia juga cukup bagus mainnya (gak nemu siapa nama aslinya). Pemeran anak-anaknya cukup baik meski memang masih ada sedikit canggung, sama canggungnya dengan pemeran versi agak gedeannya, hehe (Riman Jayadi sebagai Yanik, Andiana Suri sebagai Syamimi). Tapi, ada sedikit kebingungan gw tentang latar budaya Samihi dan Syamimi, yang dalam film ini dimainkan dengan tutur kata gaya Jakarta. Apakah mereka Muslim Bali (yang ini jelas bukan, wong pada nggak ngerti bahasa Bali), orang Jawe, Madura atau Lombok, atau memang dari Jakarta, tidak dijelaskan.
I know it's a bit too detailed dan "cuma" unsur ekstrinsik, tapi
if you're a good filmmaker, you'll find a way to tell character details without slowing the pace down, lihat
Ruma Maida deh. Ya maklum deh namanya juga film debut dari sang sutradara dan juga pengarang novelnya, Erwin Arnada, pembelajaran mas ya =).
Rumah di Seribu Ombak adalah sebuah film dengan kisah yang baik dan punya kelengkapan teknis cukup mumpuni, tapi mungkin jadi tidak menarik karena tidak ditekankan arahnya mau kemana, belum lagi
pacing-nya yang terasa
dragging akibat terlalu lempeng, kurang
captivating dari awal hingga menjelang akhir. Tapi mungkin gw-nya aja yang lagi bego, bukan salah filmnya, mungkin. Apapun nilai penting atau tema besar yang ingin disampaikan (jika memang ada), gw gagal menangkapnya.
It's weird ketika gw bisa menerima
The Mirror Never Lies dengan mudah namun tidak dengan Rumah di Seribu Ombak yang secara nuansa agak mirip-mirip (kecuali bahwa Mirror gambarnya nggak
digitally color-corrected). Entahlah. Pokok yang gw pengen sampaikan adalah gw nggak bisa bilang film ini bagus, tetapi juga nggak bisa menemukan alasan kuat dan jelas atas itu.
Some people might find this film touching and beautiful—
which might be true, sedangkan gw malah kayak udah siap-siap melupakannya.
My score:
6,5/10