Cita-Citaku Setinggi Tanah(2012 - Humanplus)Directed by Eugene PanjiWritten by SatrionoProduced by Eugene PanjiCast: M. Syihab Imam Muttaqin, Agus Kuncoro, Nina Taman, Iwuk Tamam, Rizqullah Maulana Daffa, Dewi Wulandari Cahyaningrum, Iqbal Zuhda Irsyad, Luh Monika Sokananta Kalau masih anak-anak, topik "cita-cita" selalu jadi bahasan menarik. Dalam usia yang begitu muda, terlihat "lucu" kalau mereka bercita-cita menjadi seseorang yang wah seperti dokter, pilot, artis, atlet, dan seterusnya (karena usia-usia itu belum akan dicemari dengan hardikan "ah, mimpi"). Tersebutlah sebuah kelas SD di tempat yang terkenal akan oleh-oleh tape ketan warna hijau *malah promo*, Muntilan, Jawa Tengah, murid-muridnya diberikan tugas semesteran berupa karangan bertema cita-cita. Namun, Agus (M. Syihab Imam Muttaqin) tampak kesulitan, sebab "cita-cita" yang terbesit di pikirannya saat ini "hanyalah" agar bisa makan di rumah makan khas Padang. Seperti juga kita di kehidupan nyata, teman-teman Agus langsung nge-judge dan merendahkan cita-cita itu. Tapi toh ingin menjadi atau melakukan sesuatu yang belum pernah dialami tetap terhitung cita-cita, 'kan? Setelah mendapat petunjuk dari sesepuh desa, Agus memutuskan untuk take it to the extreme dengan mencoba mewujudkan cita-citanya saat ini juga sebelum menyelesaikan tugas sekolahnya itu.
Jalan cerita Cita-Citaku Setinggi Tanah ya hanya itu. Serius, memang sesederhana itu. Tanpa ada drama berlebihan atau pesan-pesan politis terselubung, bahkan tanpa "musuh". Namun itulah yang membuat film ini menjadi karya yang apik. Tim pimpinan Eugene Panji yang selama ini dikenal sebagai sutradara video musik ini dengan bijak tidak gegabah membebani filmnya sendiri, melainkan dengan cermat melengkapi segala aspek di sekitar kesederhanaan itu, menempatkannya pada konteks tepat sehingga terasa dekat dengan keseharian penontonnya, terasa ringan tetapi sangat relevan. Contoh jelas adalah motivasi Agus dan cita-cita kecilnya yang terjelaskan dengan baik. Keluarga Agus tergolong pas-pasan (dibilang miskin juga enggak) karena bergantung pada kondisi usaha kecil produksi tahu sang ayah (Agus Kuncoro), keseharian Agus pun tak pernah lepas dari menu nasi dan tahu bacem buatan ibunya (Nina Tamam). Menikmati masakan Padang tentu sebuah keistimewaan yang butuh effort lebih, harganya saja lebih mahal dari harga di warung masakan lokal (kecuali kalau setingnya Sumatera Barat =p), pun meminta pada orang tua bukan pilihan bijak karena ayah Agus bukan termasuk orang yang mau memberikan uang begitu saja. Keputusan Agus mengumpulkan uang, mengurangi jajan, bahkan mau kerja kecil-kecilan nyatanya sangat understandable, karena kuat tekadnya untuk tidak merepotkan kedua orang tuanya demi cita-citanya.
Namun, di luar kisah utamanya, film ini sebenarnya lebih bercerita tentang "cita-cita" itu sendiri. Selain membahas apa itu cita-cita, film ini menampilkan representasi aneka macam cara orang menyikapi cita-cita. Ketiga teman Agus pun memperkuat maksud itu. Ada Jono (Rizqullah Maulana Daffa) yang bercita-cita jadi tentara, sehingga segala aspek kehidupannya ia arahakan ke tujuannya itu: jadi ketua kelas yang mendisiplinkan teman-teman kelasnya (which is hillariously realistic =D), main perang-perangan, dan siap sedia mematuhi apa saja yang dimintakan tolong orang tuanya. Lalu Sri (Dewi Wulandari Cahyaningrum) yang hanya nyaut kalo dipanggil "Mey", supaya cocok dengan cita-citanya yang ingin jadi bintang sinetron, yang sebenarnya adalah buah obsesi emaknya (Luh Monika Sokananta). Kemudian ada Puji si pengupil (Iqbal Zuhda Irsyad), yang cita-citanya adalah "membahagiakan orang lain"...yah, mungkin selevel sama "jadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa" yang sering ditulis anak-anak SD di kolom biodata/buku diari. Sebuah cita-cita abstrak dan memang diimplementasikan dengan cara nggak jelas juga. Gak ada salahnya sih go with the flow, cuma ya semoga gak keterusan aja, takutnya terjebak jadi orang yang kebingungan dan terdampar di kerjaan yang tak disukai *kemudian ngaca*. Jelas dibandingkan ketiga temannya itu, cita-cita Agus lah yang paling empuk untuk ditertawakan. Namun demikian, setidaknya Aguslah yang paling serius menggapainya dalam tindakan konkret.
Sekilas di atas kertas, film ini seperti sebuah fragmen kecil, sebuah ilustrasi inspirasional khas "film pendidikan". Akan tetapi, penggarapan Eugene Panji berhasil mengemasnya menjadi sebuah tontonan sinematis yang memikat, yang sama sekali tak rugi disaksikan di bioskop. Aktor-aktor ciliknya tampil dengan pendalaman dan kewajaran sesuai kebutuhan, tidak terlihat kekakuan sama sekali dan sangat lovable, malah cukup menyeimbangi aktor-aktor dewasanya. Secara teknis, meskipun tidak terlampau wah, tata gambar dan desain produksinya benar-benar nyaman dilihat. Gw suka pewarnaannya yang nyaris seperti direkam dengan film seluloid. Demikian pula editing-nya, seperti patah-patah, agak-agak Terrence Malick gimana gitu *hehe*, malah justru bikin nggak bosan. Dihiasi tata musik Endah N Rhesa dan Bumblebee Studio, lengkaplah sudah deskripsi keseluruhan film ini: sederhana, nyaman dan indah bermakna. Pilihan pembuat film untuk merepresentasikan dengan gaya realistik patut dipuji. Rasanya tidak ada adegan dan peristiwa yang terlalu staged atau dipaksakan, semua tampak membumi dan tidak mengada-ada, yang tampak seperti "keajaiban" pun sebenarnya bukan keajaiban-keajaiban amat kok.
Patut diketahui bahwa Cita-Citaku Setinggi Tanah adalah film yang didedikasikan bagi anak-anak penyandang kanker dalam naungan Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI), dan seluruh hasil penjualan tiketnya akan disumbangkan ke sana. Tetapi terlepas dari misi mulia itu, film ini sendiri sudah merupakan "sumbangan" penting bagi anak-anak Indonesia, apapun keadaannya, yang mengajak untuk lebih bersemangat mengejar cita-cita, karena memang tak ada yang salah dengan itu. Niat yang baik nan tulus dari pembuat film disertai dengan kerja keras (tanpa terlalu keras) mulai dari naskah hingga presentasi akhirnya ternyata tak sia-sia. Film ini punya ambisi yang "setinggi tanah", ingin mendidik dan menginspirasi dengan menjaga innocence tanpa tergoda untuk mengambil isu-isu yang terlampau berat nan rumit. Begitu sederhana, sangat mudah dicerna tanpa harus jadi childish, dan benar-benar dikemas dengan memikat, membuat gw nyaman mengikuti perjuangan Agus dan sekitarnya, tanpa harus diganggu pesan-pesan sponsor *uhuk*. Mungkin kelemahannya ada pada tertatihnya ritme di beberapa bagian, terutama pembangunan karakter-karakternya di awal yang tampak butuh waktu agak lama, namun overall, ini film yang apik dan charming. Sebuah film yang perlu ditonton masyarakat segala usia. Jangan malu bercita-cita, dan jangan gentar mewujudkannya. Ini juga berarti kita harus stop mengejek cita-cita Agnes Monica *eh*.
My score:
8/10
NB:
Fyi, film ini mengingatkan gw pada kecenderungan anak-anak SD yang minder kalau bawa bekal dari rumah ketika teman-teman lain pada beli jajanan-jajanan cihuy =D).
ADS HERE !!!