Les Misérables(2012 - Universal)Directed by Tom HooperScreenplay by William Nicholson, Alain Boublil, Claude-Michel Schönberg, Herbert Kretzmer Based on the musical stage production by Alain Boublil, Claude-Michel SchönbergBased on the novel by Victor HugoProduced by Tim Bevan, Eric Fellner, Debra Hayward, Cameron MackintoshCast: Hugh Jackman, Russell Crowe, Anne Hathaway, Amanda Seyfried, Eddie Redmayne, Samantha Barks, Helena Bonham Carter, Sacha Baron Cohen, Aaron Tveit, Daniel Huttlestone, Colm Wilkinson, Isabelle AllenPertama-tama, ada alasan kenapa dalam setiap poster film Les Misérables ada tulisan "The Musical Phenomenon". Ya, karena film ini musikal. Artinya akan banyak adegan nyanyi sepanjang durasi. Jadi yang memang merasa nggak cocok film model beginian, mungkin karena menganggap bernyanyi terus-terusan dalam film adalah hal bodoh, mendingan biaya tiket dan parkirnya disumbangkan ke fakir miskin dan korban bencana. Serius, itu akan lebih baik daripada bayar, duduk, nonton, nggak puas, dan bikin keributan sendiri di dalam bioskop, apalagi bila menonton bersama teman-teman yang beranggapan serupa sehingga bikin keributan bareng-bareng. Tak perlu membuang energi dengan melontarkan komentar-komentar cerdas macam "udah mau mati kok nyanyi?" atau "baca surat aja nyanyi?" sambil cekikikan di tengah film. There, I just saved you *ini sekaligus curhat =p*.
Tetapi sebenarnya, bagi yang menyukai film musikal seperti gw pun mungkin akan cukup terkejut dengan presentasi Les Misérables versi teranyar ini, yang ternyata lebih mirip sebuah pertunjukan opera, yaitu setiap dialog diujarkan dengan nada nyanyian, hanya sedikit saja yang diujarkan dalam intonasi wajar. Ini film yang
full musical, ibarat memindahkan pertunjukan teater musikal "Les Misérables" yang sudah tersohor itu dalam
set yang lebih nyata dan
tangible. Film terakhir yang model begini yang pernah gw tonton adalah Opera Jawa (2006) karya Garin Nugroho, tetapi kalau dibandingkan, ya Les Misérables ini lebih mudah dinikmati karena ceritanya lugas tanpa simbol-simbol. Penyampaian seperti ini jelas sebuah risiko yang diambil Tom Hooper, sutradara yang sebelumnya dikenal mengarahkan film pemenang Oscar,
The King's Speech.
Did it work?
Berdasarkan novel Prancis karya Victor Hugo (yang juga mengarang "The Hunchback of Notre Dame"), yang kemudian diadaptasi menjadi pertunjukkan musikal lalu diterjemahkan jadi musikal berbahasa Inggris lalu itu diadaptasi jadi film ini *helanapas*, Les Misérables (bacanya kira-kira 'lé-mi-sé-khaa-bl(e)'), yang judulnya kekeuh tidak diterjemahkan dalam bahasa Inggris entah kenapa, bercerita tentang orang-orang bernasib malang dan terpinggirkan, yang miserable. Berlatar Prancis abad ke-19 ketika kembali ke sistem monarki pascaruntuhnya pemerintahan Napoleon, dan ketimpangan sosial tak pernah selesai. Jean Valjean (Hugh Jackman) adalah mantan terpidana pencurian sepotong roti yang melanggar ketentuan wajib lapor setelah keluar penjara, ia kabur dan mencoba memulai kehidupan baru sebagai pengusaha di sebuah kota kecil. Namun, inspektur polisi Javert (Russell Crowe) yang sangat patuh pada hukum tak pernah berhenti mencarinya. Di saat yang bersamaan ketika kedok Valjean ketahuan oleh Javert dan hendak diringkus, Valjean berjanji kepada Fantine (Anne Hathaway), pekerja pabriknya yang dipecat dan terjebak prostitusi, untuk merawat putri semata wayangnya, Cosette (yang kecil dimainkan Isabelle Allen, sudah remaja dimainkan Amanda Seyfried) yang tak berayah. Dalam pelarian dan persembunyian, Valjean pun mencoba kembali memulai kehidupan baru bersama Cosette di Paris, just in time ketika revolusi akan memuncak.
Dan setiap langkah cerita itu dinyanyikan, nyaris tiada henti.
Bahwa setiap pemain harus menyanyikan dialognya dalam film ini, buat gw adalah sebuah "aturan" dalam semesta kisahnya. Sebagaimana semua tokoh dalam
Rayya Cahaya di Atas Cahaya harus berdiksi puitis, atau semua tokoh alien jahat dalam setiap seri "Kamen Rider" harus berbahasa Jepang. Ini tidak berbicara soal otentisitas atau realistis, melainkan yang ditekankan adalah penyampaian cerita. Berbeda dengan Moulin Rouge!,
Chicago, atau The Phantom of the Opera yang ber-
setting dunia panggung sehingga adegan-adegan bernyanyi
more or less bisa diterima dengan wajar, Les Misérables adalah kisah drama realis namun disampaikan dalam nyanyian. Nyanyian jadi kewajaran dalam film ini karena sejak awal sudah ditekankan tokoh-tokoh dalam film ini tidak bercakap-cakap dalam dialog biasa. Bernyanyi bukan hal yang terpisah sendiri, melainkan cara tokoh-tokoh dalam film ini berkomunikasi dalam lingkungannya.
Your arguments are invalid.
Gw perlu meng-emphasize persoalan ini karena, somehow, Tom Hooper mengelolanya dengan sangat baik. Dengan cara seperti itu, ia lolos dari jebakan "terlalu teater" (karena faktor editing sih kalo menurut gw), pun tidak memaksakan ikut penuturan ala film musikal konvensional yang menuntut selang-seling dialog dan lagu yang rawan absurditas. Sebuah penerjemahan yang sama sempurnanya dengan Chicago meski berbeda metode. Ia bahkan berani menyuruh para aktornya bernyanyi langsung di lokasi saat syuting layaknya pertunjukan teater (sebagian tanpa cut), ya kayak dialog aja, bukan direkam suaranya dulu terus lipsync. Setelah masuk dan mengikuti "aturan" penceritaan film ini, gw nggak bisa lepas, malah terhanyut dalam usaha tokoh-tokoh ini yang hanya ingin hidup lebih layak dan bahagia, nyanyian lirih dan galau mereka berhasil tertransfer langsung ke sanubari. Penuturannya pun lancar, nggak basa-basi, pembangunan tokohnya tanpa cela, dan terintegrasi dengan musiknya. Ini juga berkat teknik editing cepat dan agak-agak Terrence Malick itu (ah semuanya aja gw bilang mirip Terrence Malick =p). Yah, kecuali pada 1/3 akhir atau babak bentrok rakyat vs aparat yang malah melambat, dan finale-nya yang kurang megah meskipun tetap emosional.
Les Misérables adalah kisah haru biru namun disampaikan dengan indah nan syahdu tanpa merusak logika. Dilengkapi dengan presentasi yang berani, penataan teknis yang matang—desain produksi-kostum-rias-sinematografi-suara dsb., aktor-aktris yang tampil maksimal baik akting maupun vokal (emm, Russell Crowe suaranya paling khas dan sebenarnya enak, tapi kurang power kalo nada tinggi, akhirnya jadi vokalis paling jelek di film ini =P), dan tentu saja penataan musik yang ciamik. Banyak momen yang moving dan menggetarkan, terkhusus performa Anne Hathaway sebagai Fantine menyanyikan "I Dreamed a Dream" dan Samantha Barks sebagai Éponine melantukan soundtrack kaum ter-friendzoned, "On My Own". Bahkan kali ini gw nggak keberatan dengan kecenderungan Tom Hooper dalam sinematografi yang suka "memojokkan" aktornya ke pinggir bingkai gambar, pinggiiir banget. Mungkin juga karena di sini waktu orangnya ada di pojok kanan layar, ada subtitel di kirinya, sehingga tampak imbang, hahaha. I had a great time watching Les Misérables, tak peduli durasinya 2,5 jam. Kisah indah yang dituturkan, atau lebih tepatnya dinyanyikan, dengan indah pula.
My score:
8/10