Gending Sriwijaya(2013 - Putaar Production/Pemprov Sumatera Selatan)Written & Directed by Hanung BramantyoProduced by Dhoni Ramadhan, Dian Permata Purnamasari, Irene Camelyn SinagaCast: Agus Kuncoro, Sahrul Gunawan, Julia Perez, Mathias Muchus, Jajang C. Noer, Slamet Rahardjo, Teuku Rifnu Wikana, Hafsary Thanial Dinoto, Qausar Yudana, Oim Ibrahim, Otig Pakis, Yati Surachman, Aji Santoso, Early Ashyla, Anwar FuadyFilm semacam Gending Sriwijaya ini adalah salah satu yang gw nantikan. Film dengan latar Indonesia zaman dahulu kala, zaman-zaman kerajaan, dan ada tambahan unsur laganya.
There's something intriguing about the genre, sebagaimana gw sadari tahun lalu ketika menonton
Roro Mendut (1982). Mungkin banyak yang lupa, bahwa
genre yang sering disebut "film kolosal" ini banyak peminatnya,
rating tinggi sinetron macam "Misteri Gunung Merapi" dan "Tutur Tinular 2011" sebenarnya sudah cukup menjelaskan itu, cuman sekarang sineas+produser kita aja mungkin yang kurang tanggap atau udah males duluan mikirin
budget-nya, meski pasti udah dinanti-nantikan banget sama para
costume designers =). Padahal, rasanya
genre ini perlu terus diproduksi, baik sebagai hiburan maupun sebagai pengingat akan bagaimana bangsa kita dulu, setidaknya dari kebudayaan, nggak harus peristiwa sejarah juga sih. Saat ini marilah kita sambut Gending Sriwijaya, sebuah film inisiatif dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, yang bertujuan mempromosikan kebudayaan provinsi tersebut ke khalayak luas, dan beruntung mereka bekerja sama dengan sineas yang punya
skill serius dan mau "berpetualang" ke berbagai macam
genre seperti Hanung Bramantyo.
Kisahnya sendiri adalah intrik klasik perebutan tahta kerajaan sekaligus adanya perlawanan sekelompok rakyat karena ketidakpuasan terhadap pemerintahan. Ada raja yang disebut Dapunta Hyang Mahawangsa (Slamet Rahardjo) yang sakit-sakitan memimpin Kedatuan Bukit Jerai. Bersama Permaisuri Kalimanyang (Jajang C. Noer), Dapunta ingin menyerahkan tahta kepada putra lelakinya yang bungsu dan baru pulang menuntut ilmu di China, Purnama Kelana (Sahrul Gunawan) ketimbang kepada putra mahkota Awang Kencana (Agus Kuncoro) yang lebih lihai berperang, timbullah kecemburuan di sana.
Di saat yang sama, entah diketahui Dapunta atau tidak, rakyat Bukit Jerai mengalami kemiskinan, sulit memperoleh bahan pangan akibat banyaknya pejabat nakal. Keadaan ini menimbulkan gerakan perlawanan yang dipimpin Ki Goblek (Mathias Muchus) yang sering merampok harta kedatuan, hal yang meresahkan warga istana yang bertekad membasminya. Suatu ketika Dapunta Hyang ditemukan tewas dan bukti mengarah pada Purnama sebagai pelaku pembunuhan. Purnama kemudian ditangkap namun berhasil meloloskan diri berkat beberapa orang kepercayaannya, sampai akhirnya ia ditemukan dan disekap kawanan Ki Goblek. Awang Kencana naik tahta menjadi dapunta dan memulai gerakan militer terhadap rakyat, namun misi utamanya adalah membasmi Ki Goblek cs, dan memastikan kematian Purnama.
Kisah film Gending Sriwijaya ini adalah fiksi, karena menurut pemberitaan, Hanung dan timnya kesulitan dalam mencari data yang cukup lengkap untuk menceritakan sebuah peristiwa sejarah. Sehingga pada akhirnya yang diambilnya adalah sebuah periode peralihan yang jarang tercatat, katanya sih abad ke-16, beberapa abad setelah Kerajaan Sriwijaya nan tersohor bahkan sempat jadi pusat ilmu agama Buddha terbesar itu runtuh dan terpecah-pecah jadi beberapa kerajaan/kedatuan kecil. Ini berarti ketika kerajaan-kerajaan di Jawa masih berjaya, serta beberapa saat sebelum ajaran Islam masuk wilayah bagian tengah pulau Sumatera itu. Singkatnya, Hanung dan timnya dapat lebih leluasa dalam berimajinasi pada setting ini, toh tidak ada bukti yang dapat membenarkan atau menyalahkan, ya termasuk soal senjata api yang mereka dapat dari China itu. Dan menurut gw kefiksian itu ditangani dengan cukup baik dan konsisten. Satu hal yang tetap dipegangnya, dan mungkin ini titipan dari Pemprov Sumsel, yaitu tentang kerinduan dan perjuangan mencapai kejayaan dan kesejahteraan seperti zaman Kerajaan Sriwijaya di masa lalu, which is clearly the main intended point of the film, yang juga menjadi inti dari tarian bernama Gending Sriwijaya.
Yang menarik adalah kelihatan juga ada sebuah subteks yang ingin disampaikan Hanung soal kenegaraan. Pemimpin-pemimpin yang sibuk sendiri sampai mengabaikan kesejahteraan rakyat, yang juga berkuasa mengubah, menyaring serta mencekal sejarah dan budaya rakyat yang dianggap menjatuhkannya *uhuk*. Soal budaya ini juga menarik, di sini gw menemukan seperti ada "curhat" mengenai kesulitan menemukan data sejarah tadi. Kita tahu sendiri, peninggalan budaya dan sejarah bangsa kita, apalagi yang sebesar Sriwijaya dan Majapahit, terbilang sedikit, udah rusak, dirusak, atau sudah tidak ada jejaknya sama sekali, entah disengaja secara politis ataupun tidak. Kalau pun ada, tidak pernah terawat dengan baik, sehingga yang tersisa hanya tulisan-tulisan dan puing-puing bangunan saja. Kalau begitu adanya, gimana kita bisa kenal "kita yang dulu"? Gimana kita yang sekarang bisa tahu apa itu "jaya"? Yang bisa diwariskan hanyalah yang intangible secara turun temurun, seperti tarian Gending Sriwijaya yang dalam film ini diciptakan dan (in the end) hanya bisa diteruskan oleh Malini (Julia Perez)—tentu saja aslinya bukan dia yang menciptakan tarian itu, duh. Jika orang ini hilang, hilanglah sudah tali penghubung kita dengan asal usul kita. Itulah pentingnya budaya.
Menurut gw, film Gending Sriwijaya ini kaya. Punya intrik yang tidak kekanak-kanakan, plotnya yang cukup bikin gw betah sampai akhir dan punya bobot seperti gw ungkap sebelumnya, karakterisasi yang jelas tapi tidak komikal, serta pertunjukkan tata kostum, tata rias (kecuali
shading di perut agar terlihat
six-pack itu =p), tata gambar, tata suara, dan tata musik yang ciamik. Inklusi lagu/puisi dan tarian Sumatera Selatan juga sangat baik dan mulus. Satu hal yang paling gw suka adalah adegan laga di film ini tidak nanggung-nanggung serunya. Jelas tidak semodern
The Raid, tetapi efek dari setiap adegan baku hantam dan bunuh-bunuhannya begitu...wow, seru deh, berdarah! Pecinta film silat pasti terpuaskan dengan tata laga Gending Sriwijaya, termasuk aksi Julia Perez dan para wanita penari Gending Sriwijaya yang sadeeis jurus-jurusnya. Kekayaan film ini semakin lengkap dengan jajaran pemerannya yang bermain baik bahkan
moving pada beberapa momen, mungkin yang paling pol adalah Yati Surachman sebagai istri Ki Goblek yang punya satu adegan (dari 4 yang ada beliaunya) yang luar biasa emosional, keren.
Tetapi di sisi lain film ini "kaya-kaya nanggung". Gending Sriwijaya ini jadi berkurang kadar epic-nya ketika beberapa adegan yang berpotensi epik seperti ngaben, penobatan Awang jadi Dapunta, pernikahannya dengan Dang Wangi (Hafsary Thanial Dinoto) yang sesungguhnya mencintai Purnama, penyerangan tambang emas, dan lain sebagainya digantikan oleh gambar-gambar komik bergerak. Bahkan bentuk utuh istana Kedatuan Bukit Jerai pun tak pernah nampak, sense of space-nya kurang jelas. Mungkin keterbatasan dana dan waktu, sayang sekali. Beberapa titik penceritaan juga kurang jelas, khususnya bagian flashback, yang menurut gw disebabkan oleh ketidakkonsistenan subtitelnya, kadang gw nggak ngerti tokohnya yang beraksen Palembang itu ngomong apa tapi subtitelnya nggak ada. Yah...
But overall, gw cukup terhibur dengan 140-an menit film Gending Sriwijaya ini, baik dari intrik klasiknya hingga adegan aksinya. Nggak mungkin gw nggak memberi respon positif. Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, gw juga bener-bener berharap Gending Sriwijaya banyak yang nonton, supaya sineas dan pendana film kita lebih bersemangat untuk bikin lebih banyak film berlatar masa lalu Indonesia. Kita butuh itu, asal bikinnya yang bener kayak gini ya.
My score:
7/10