Zero Dark Thirty(2012 - Panorama Media/Columbia Pictures/Annapurna Pictures)Directed by Kathryn BigelowWritten by Mark BoalProduced by Megan Ellison, Kathryn Bigelow, Mark BoalCast: Jessica Chastain, Jason Clarke, Kyle Chandler, Jennifer Ehle, Harold Perrineau, Mark Strong, Édgar Ramírez, Fares Fares, Joel Edgerton, Chris Pratt, James Gandolfini, Stephen DillaneTak perlu waktu lama, peristiwa terbunuhnya pemimpin organisasi militan al-Qaidah, Usama bin Laden (atau Osama bin Laden kalau di media-media Amerika-Eropa) oleh paskhas US Navy SEALs di Pakistan tahun 2011 silam diangkat dalam film cerita layar lebar. Sineas yang "dipercaya" untuk menceritakan ulang peristiwa itu tak lain adalah sutradara Kathyrn Bigelow dan penulis Mark Boal, yang sebelumnya sukses meraih piala Oscar untuk film berlatar perang Irak,
The Hurt Locker. Dengan bantuan (konon) pihak-pihak yang bertanggung jawab langsung di balik peristiwa ini, Bigelow dan Boal rupanya tidak hanya tertarik mengangkat detil penyergapan yang menewaskan Usama bin Ladin itu, mereka juga terkesan terhadap sesosok wanita agen CIA yang berhasil menemukan lokasi persembunyian tokoh yang dikaitkan kuat dengan penyerangan gedung World Trade Centre di New York dan Pentagon di Washington D.C. pada 11 September 2001 itu.
Sosok wanita itu dalam film ini diberi nama Maya (Jessica Chastain), relatif muda ketika pertama kali ditugaskan ke markas CIA di Pakistan tahun 2003. Tugasnya hanya satu, yakni mencari di mana Usama bin Ladin berada (gw singkat pake kode UBL ya, ngikutin filmnya). Awalnya ia harus mengikuti metode yang sudah berjalan bersama rekannya, Dan (Jason Clarke), yakni menyaksikan interogasi/siksaan anggota al-Qaidah yang berhasil ditangkap CIA, meskipun hasil yang didapat nggak terlalu banyak sebenarnya. Ketika kemudian Maya mendapat suatu petunjuk yang diyakini dapat menguak keberadaan UBL, rekan-rekan dan atasannya malah tidak menganggapnya penting. Penyelidikan pun berjalan panjang dan tertunda-tunda, baik karena sulitnya memecahkan sistematika organisasi al-Qaidah, juga karena perhatian pemimpin intelijen AS mulai terdistraksi dengan banyaknya aksi terorisme lain yang diduga/diakui didalangi kelompok yang sama. Maya seperti berjuang sendirian untuk satu tujuannya itu, namun kegigihan itu tak sia-sia, hingga akhirnya sang target berhasil ditewaskan pada Mei 2011 lewat tengah malam waktu setempat.
Dengan penuturan mengikuti petunjuk-petunjuk yang ditemukan Maya, Zero Dark Thirty adalah thriller yang berhasil menancapkan perhatian dari awal hingga pada operasi penyergapan UBL di akhirnya. Walau hanya berfokus pada penyelidikan Maya yang jauh dari baku tembak atau kejar-kejaran (well, sort of), film ini tak buru-buru mempermudah segalanya (durasinya juga panjang, 2,5 jam, hehe), melainkan mengambarkan begitu banyak keterbatasan dan kesulitan yang dihadapi oleh para agen intel hanya untuk melacak keberadaan UBL, termasuk di dalamnya ada keteledoran dan pengorbanan nyawa, yang pastinya menguras emosi. Menurut gw ini nggak kalah seru dibandingkan adegan operasi penyergapannya, yang disajikan secara real-time di sekitar 30 menit terakhir film ini. Bahkan, kayaknya gw lebih suka bagian penyelidikannya daripada penyergapannya. Namun ada persamaan dari kedua bagian ini, yakni tidak ada dramatisasi berlebihan, semua ditata seakan nyata apa adanya dan tetap menimbulkan suspense yang pada tempatnya.
Akan tetapi, buat gw yang paling menarik dari Zero Dark Thirty adalah ketiadaan pretensi politik dalam penuturannya—tidak membela Amerika banget atau sebaliknya menimbulkan simpati terhadap kelompok teroris, juga halusnya pernyataan sikap terhadap peperangan. Dengan cara serupa seperti The Hurt Locker, Bigelow dan Boal dengan subtil seakan ingin menujukkan kontras diri seseorang yang bekerja dengan dedikasi dan passion, dalam sebuah situasi yang patut dipertanyakan benar tidaknya secara moral. Dengan banyak korban jatuh dan peristiwa yang terjadi, pertanyaannya adalah did they do the right thing? Kenapa AS yang menjunjung tinggi HAM harus mengorek informasi lewat penyiksaan yang tak berperikemanusiaan? Apakah kematian UBL dapat menghentikan terorisme? Apa yang benar-benar bisa dirayakan? Nyatanya nyaris tidak ada glorifikasi ditunjukkan dalam film ini. Perasaan mengambang itu juga yang timbul ketika film ditutup dengan sebuah adegan yang kuat, antara lega dan kosong, karena dengan tuntasnya misi ini bukan berarti kehidupan jadi lebih mudah.
Zero Dark Thirty memang berisiko tidak bisa jadi tontonan hiburan. Namun, di sanalah letak keistimewaan penggarapan ibu Bigelow, ia bisa membuat film ini akan tetap diingat. Sekalipun tidak "menghibur" (The Hurt Locker masih lebih menghibur) dan seakan rumit, film ini tak akan membiarkan penontonnya terdistraksi dari jalan ceritanya. Toh sebingung-bingungnya, di beberapa titik disampaikan "rangkuman plot" lewat dialog terutama kalo ada tokoh yang baru muncul, jadi tetap bisa diikuti dengan jelas. Dilengkapi penataan teknis khususnya suara, sinematografi, dan penyuntingan yang mumpuni, serta penampilan prima dari Jessica Chastain, Jason Clarke, plus special mention buat Jennifer Ehle, kepenasaranan khalayak tentang apa-apa di balik layar operasi yang menewaskan UBL dibayar dengan lunas, terasa lengkap (yah setidaknya cukup lah) juga elegan, dan tanpa mendikte opini penontonnya.
My score:
8/10
ADS HERE !!!