Cloud Atlas(2012 - Focus Features International/Warner Bros./Cloud Atlas Production/X-Filme Creative Pool/Anarchos Pictures)Written for the Screen & Directed by Lana Wachowski, Tom Tykwer, Andy WachowskiBased on the novel by David MitchellProduced by Grant Hill, Stefan Arndt, Lana Wachowski, Tom Tykwer, Andy WachowskiCast: Tom Hanks, Halle Berry, Hugh Grant, Jim Broadbent, Jim Sturgess, Ben Whishaw, Hugo Weaving, James D'Arcy, Bae Doona, Susan Sarandon, Keith David, David Gyasi, Zhou XunHarus mulai dari mana? Cloud Atlas adalah film rilisan 2012 yang gw nanti-nantikan, dan akhirnya setelah menyaksikannya (tahun ini) menjadi film yang I just can't get enough of. Adaptasi novel unik karya David Mitchell ini memenuhi segala perkiraan tentangnya, bahkan lebih. Benar film ini akan mengagumkan, memanjakan mata dan telinga dengan segala kelengkapan produksinya: visual yang apik tenan, kisah-kisah yang membuat penasaran, kepiawaian akting, musik yang powerful, dan segalanya megah gempita. Di saat yang sama, benar juga film ini akan membingungkan dan mungkin akan menjengkelkan sebagian penontonnya. Oh, gw hakul yakin akan kubu-kubu penonton yang suka banget dan juga yang benci banget. Tapi faktanya, ketika gw nonton di bioskop, apa pun pendapatnya, semua penonton tidak ada yang menyerah di tengah jalan sepanjang menonton sajian 3 jam kurang 10 menit ini. Di Bekasi lho nih padahal.
Cloud Atlas sudah begitu
intriguing lewat konsep yang digembargemborkan sekalipun premis-nya tidak spesifik menjelaskan film ini tentang apa, kecuali Anda pernah membaca novel aslinya. Pertama-tama film ini terdiri dari enam cerita "terpisah", berbeda
setting tempat dan waktu. Ada yang masa lalu, masa kini, bahkan masa depan. Film ini diarahkan oleh dua unit kru: satu unit yang dipimpin sutradara Jerman, Tom Tykwer (yang bikin Run Lola Run dan The International) mengurus cerita yang berlatar tahun 1936, 1973 dan 2012; satunya lagi oleh duo kakak-adik
otaku Lana (dahulu Larry, beneran) dan Andy Wachowski (yang bikin The Matrix dan
Speed Racer) bertanggung jawab buat kisah berlatar 1849, 2144, dan yang masa ratusan tahun setelahnya. Yang mungkin paling sensasional adalah film ini memberdayakan aktor-aktornya untuk bermain di setiap segmen cerita dengan karakter yang berbeda-beda, bahkan berbeda kelamin dan ras. Silahkan nonton untuk melihat bagaimana Hugh Grant jadi sipit, atau Hugo Weaving jadi ibu-ibu, atau Zhou Xun jadi bule, tentu saja dengan bantuan
makeup effects yang...err...efektif. Mencari-cari aktor anu di
setting anu jadi siapa dan tampangnya gimana, ataupun tokoh ini yang main siapa, tak pelak jadi nilai hiburan yang paling mudah dinikmati penonton dari film ini, dijamin.
Namun daya tarik Cloud Atlas tak hanya itu. Perhatikanlah sedikit lebih seksama, maka kita akan menemukan 6 kisah yang ada ditata dengan genre yang berbeda-beda. Dalam satu film ini, kita akan disodorkan drama kemanusiaan, tragedi, thriller konspirasi, komedi, fiksi ilmiah, hingga petualangan (semacam jenis-jenis novel kali ya, yang nggak ada cuma romance dan bokep). Masing-masing kisah berdiri sendiri, dengan tokoh-tokoh tersendiri, juga punya konflik dan klimaks masing-masing. Lalu apa yang mengubungkannya? Nyaris tidak ada. Nyaris. Apakah semuanya memiliki tema yang sama? Mungkin. Lokasi sama? Enggak semua tuh. Terkait satu dengan yang lain seperti sebab akibat? Bisa ya bisa tidak. Soal reinkarnasi? Nggak juga. Rasanya, dengan plot dan gaya penceritaan yang berbeda-beda, sulit untuk menangkap kenapa 6 kisah ini harus jadi satu film. Tetapi pada satu titik, baik langsung maupun tidak langsung, semuanya terhubung. Mungkin penggunaan aktor yang itu-itu aja dalam setiap segmen menjadi solusi yang menegaskan keterkaitan itu, atau juga merupakan usaha supaya penonton tetap terbangun karena diajak "tebak-tebakan" tadi, dan akhirnya jadi memperhatikan keterkaitan 6 cerita ini.
Mungkin Cloud Atlas juga perlu disalahkan karena membuat kehidupan sosial penontonnya jadi ribet, yakni kalau ada teman menyanyakan film ini "tentang apa". Jika mau dijawab, maka kita harus menjawabnya dengan menceritakan 6 buah garis besar cerita, nggak akan selesai dalam satu kalimat. Tahun 1849, seorang pengacara muda Adam Ewing (Jim Sturgess) membentuk ikatan persahabatan dengan seorang budak (David Gyasi) dalam perjalanan dari Kepulauan Pasifik ke Amerika. Tahun 1936, seorang struggling artist Robert Frobisher (Ben Whisaw) menyurati kekasihnya Rufus Sixsmith (James D'Arcy) tentang pengalamannya menjadi juru tulis seorang komposer uzur (Jim Broadbent). Tahun 1973, wartawati Luisa Rey (Halle Berry) mencium adanya ketidakberesan dalam pembangunan pembangkit tenaga nuklir di San Francisco. Tahun 2012, editor bangkrut Timothy Cavendish (Jim Broadbent) dijebak oleh kakaknya (Hugh Grant) masuk panti jompo karena berutang. Tahun 2144 di Neo Seoul, seorang fabricant/manusia buatan bernama Sonmi-451 (Bae Doona) menyerukan kebebasan dan penghapusan sistem yang membelenggu kaumnya. Di masa depan ketika peradaban manusia lenyap (keterangannya 106 tahun setelah "kejatuhan"), Zachry (Tom Hanks) dari kaum primitif membantu Meronym (Halle Berry) dari kaum terpelajar untuk menuju gunung berbahaya demi kelangsungan hidup umat manusia. So, there you go *tarik napas*.
Film ini termasuk anti-spoiler. Mau menceritakan ulang isinya sampe berbusa juga nggak ada faedahya kalau tidak menyaksikan sendiri filmnya. Nyeritain premisnya aja udah capek sendiri. Dan seperti menambah alasan orang untuk merasa bingung dan benci, Tykwer dan kakak-adik Wachowski menuturkan keenam kisahnya secara selang-seling bukannya satu-satu bergiliran. Pergantian adegannya tidak selalu saling berkaitan, hanya saja momentumnya mirip. Misalnya saat semua kisah mencapai klimaks, semuanya ditampilkan barengan. Tetapi inilah satu lagi pencapaian dari Cloud Atlas, khususnya editornya, yang membuat keenam kisah berbeda yang dilebur dan diacak ini tetap mudah diikuti. Pembangunan momen demi momen tiap kisah begitu rapi dan ditampilkan sedemikian rupa seakan tidak membiarkan penonton (at least gw) tertidur. Itu sih yang gw rasakan, tetapi lucunya gw tetap merasa ingin mengikuti terus. Sebingung apa pun gw, gw tetap bisa menyaksikan keindahan dan kekerenan baik gambar, suara, jalan cerita, maupun dialognya. Dan tentu saja ada action-nya yang seru. Masih ingat 'kan kalo film ini melibatkan kreator The Matrix? Well, gw juga hampir lupa saking terhanyutnya. Editornya jago, membuat karya ketiga sutradara ini begitu menyatu dan nyaris nggak kentara mana buatan siapa.
Namun, tetap saja perasaan ingin mencari-cari apa makna keseluruhan Cloud Atlas ini terus mengusik. Kaitan langsungnya sih ada: jurnal perjalanan Adam Ewing dibaca Frobisher; karya musik Frobisher didengarkan oleh Rey; novel kisah hidup Rey sedang disunting oleh Cavendish tetapi tidak ditindaklanjuti; film tentang pengalaman Cavendish di rumah jompo ditonton dan menginspirasi Sonmi; dan semangat revolusi Sonmi dijadikan pedoman hidup yang dianut suku di The Valley, oleh Zachry, bahkan kata "god" (Tuhan/dewa) sudah diganti dengan "Sonmi" di bahasa yang mereka pergunakan. Tetapi ada pula kaitan yang longkap-longkap. Semisal tenaga nuklir jadi penyebab terancamnya kelangsungan manusia di kisah Zachry. Atau bagaimana di kisah Ewing ketika perbudakan terhadap kaum kulit hitam dihapuskan, lalu di kisah Rey warga kulit hitam jadi setara (dari segi profesi), dan di kisah Zachry, kaum terpelajar (Prescient) sebagian besar berkulit hitam kontras dengan kaum primitif yang berkulit putih. One thing does lead to another, tetapi tidak selalu langsung. Malahan, hal-hal kecil dan mungkin dianggap sepele ketika dilakukan, baik perkataan, tindakan, bahkan tulisan, dapat berdampak besar di masa depan, bahkan bisa lebih dari yang dibayangkan. Kira-kira begitu yang gw dapet, tapi entahlah. Setiap orang bebas kok menginterpretasi.
Gw mengerti kenapa studio-studio besar begitu reluctant untuk memproduksi film ini. Film yang begitu mahal tetapi tampak berat (padahal nggak juga) dan tidak "memanjakan" sebanyak mungkin penonton segala usia (gw ngomongin film apa sih? =P) bukanlah bisnis yang menguntungkan. Ini mengakibatkan pendanaan film ini harus dicari secara independen, kebanyakan dari institusi-institusi perfilman di Jerman (di wiki film ini disebut "film Jerman"...mungkin faktor Tykwer juga sih) dan juga dana pribadi kakak-adik Wachowski. Akan tetapi gw juga mengerti mengapa pembuat film dan para aktornya tetap bersedia memproduksi film ini. Film yang penuh tantangan dan penuh resiko, tetapi juga penuh akan potensi keindahan dan pengalaman menonton yang jarang ada. Untunglah hasil akhirnya begitu worth it. Tykwer dan kakak-adik Wachowski telah mewujudkan visi mereka dengan tak sia-sia, bahkan mungkin telah berhasil membuat versi film ini memiliki daya tarik yang berbeda tapi sama kuat dengan versi aslinya *ini agak sotoy sih*.
Apapun itu, rasanya hanya kata puas dan mengambil-napas (maksudnya breathtaking =P) yang bisa gw sematkan untuk Cloud Atlas. Well, kecuali penyensoran LSF yang sedikit tapi lumayan mengesalkan sih jadi nggak bisa lihat Sonmi telenji. Penuturannya berani, visual epik, performa aktornya top abis (perhatian gw tertuju pada Tom Hanks, Bae Doona, Zhou Xun, dan (bahkan) Halle Berry) dan segala hal lain yang melengkapinya pokoknya jempol deh. Film yang menghadirkan campuran berbagai genre dan pokok cerita dengan mulus, tetapi setiap segmennya juga berkerja dengan sangat baik bahkan bisa dibahas panjang satu per satu. Meskipun seperti mengandung kedalaman filosofi kehidupan tersebar di berbagai sudut, konten naskahnya toh nyatanya tidaklah terlalu berat dan masih bisa dicerna dengan cukup mudah (dan subtitel Indonesia, terutama di kisah Zachry yang bahasa Inggrisnya agak lain, rupanya sangat-sangat menolong, hehe).
Tetapi jika tidak ada waktu dan niat untuk itu, nggak dipikirkan atau dibahas juga nggak apa-apa kok. Saksikan saja kisah-kisah ini dengan apa adanya. Nikmatilah saja Cloud Atlas sebagai satu kesatuan cinematic experience yang mengagumkan dan (menurut pendapat gw) mengasyikkan. Jika memang akhirnya tidak menyukainya, minimal pasti film ini tidak akan mudah terlupakan. Uang dan waktu yang dihabiskan untuk menonton film ini tidak akan percuma. Lebih "gampang" dari The Matrix 2 & 3 kok. Inilah akhir ulasan gw, dan waktunya Anda menyadari bahwa setiap gambar yang gw pasang di postingan ini ada Halle Berry-nya =).
My score:
9/10