Tampan Tailor(2013 - Maxima Pictures)Directed by Guntur SoeharjantoWritten by Alim Sudio, Cassandra MassardiProduced by Ody Mulya HidayatCast: Vino G. Bastian, Marsha Timothy, Ringgo Agus Rahman, Jefan Nathanio, Lisye Herliman, Epi KusnandarJudul Tampan Tailor dan rumah produksi Maxima memang sekilas bikin ilfil. Reputasi Maxima, sekalipun desain posternya bagus-bagus (ada yang banget), cukup notorious di kalangan pemerhati film Indonesia karena ia pula yang bertanggung jawab atas Tali Pocong Perawan, Paku Kuntilanak, Tiren, Tiran, Suster Keramas, Air Terjun Pengantin, Pocong Keliling, hingga Bukan Bintang Biasa, Menculik Miyabi, dan masih banyak lagi sejenisnya. Tetapi bisa saja Maxima memproduksi film-film semacam itu supaya bisa punya modal cukup untuk bikin film-film "bener". And you know what, dengan Tampan Tailor, I can actually buy that excuse. Honest. Saudara-saudara, bahwa sesungguhnya Tampan Tailor adalah film yang "bener", dan saya tidak keberatan kalau film ini akan laku keras atau dapat penghargaan film nasional (nasional lho ya). Serius.
Nama Tampan Tailor mungkin terdengar nggilani, tetapi sejarah di balik nama itu tidak demikian. "Tampan" adalah perpaduan nama suami-istri pengusaha jasa jahit pakaian, Tami dan Topan (Vino G. Bastian), dan menjadikannya nama usaha tailor mereka. Diceritakan di awal, Tami meninggal akibat kanker, meninggalkan Topan dan putra mereka, Bintang (Jefan Nathanio). Tak hanya itu, keuangan Topan juga mengalami resesi sehingga terpaksa menutup usahanya, menjual dan menggadaikan barang-barang miliknya (termasuk mesin jahit Singer-nya), dan terpaksa menumpang di rumah saudaranya, Darman (Ringgo Agus Rahman). Maka dimulailah usaha Topan untuk bertahan hidup dan menghidupi putra semata wayangnya. Apa pun mau dilakukan Topan asal dapat sedikit nafkah, mulai dari jadi calo tiket kereta hingga peran pengganti di produksi film. Apakah Topan akhirnya bisa kembali bangkit dari keterpurukan? Apakah passion dalam bidang jahitnya akan terkubur begitu saja karena kejamnya ibukota?
Jika mau menggambarkan bagaimana film Tampan Tailor itu, bayangkan saja sebuah episode acara televisi tentang profil wirausahawan atau riwayat sukses orang terkenal yang direka ulang secara dramatis. Itu bukan hal yang buruk, karena Tampan Tailor yang katanya terinspirasi dari kisah nyata ini bercerita dengan baik dan lancar. Menurut gw sebenarnya film ini kesukaan orang Indonesia banget. Kisah Topan yang pantang menyerah di tengah kesulitan hidup, hubungan sang ayah dan putra kecilnya yang mengingatkan pada Life is Beautiful atau The Pursuit of Happyness, intrik dunia kerja dan usaha, dan di tengah-tengahnya ada benih-benih asmara dengan Prita (Marsha Timothy), wanita pemilik penitipan anak di stasiun yang akrab dengan Bintang dan juga memikat hati Topan. Zero to hero, dengan berbagai bumbu yang mengharukan dan menggembirakan. Sasaran empuk sinetron, tetapi untungnya treatment dalam film ini tetap sinematik, dan tidak cengeng.
Satu hal yang paling menarik perhatian gw adalah betapa apiknya tata teknis film ini. Desain produksi dan pemilihan lokasi setiap adegannya kelihatan otentik, Jakarta yang riil tapi nyaman dipandang walaupun tanpa hiasan menor. Bidang ini pun diperkuat oleh sinematografi yang sengaja dibuat agak "goyah" seakan menggambarkan hiruk pikuk Jakarta, komposisi gambarnya dan warnanya juga enak dipandang tanpa poles-polesan pascaproduksi berlebihan. Malah gw berani bilang film ini salah satu yang terbaik dalam penggunaan kamera digital high-definition/high-frame-rate/apalah. Mungkin bagi sebagian orang jadi kayak nonton TV, tapi buat gw tetep terasa "film"-nya kok. Dan satu lagi bidang yang cukup pantas diberi pujian adalah penyuntingan gambar yang sukses membuat film ini laju-nya enak, lincah tetapi tidak terasa terburu-buru, nggak bosenin deh.
Kendati demikian, film ini memang tidak sesempurna jahitan jas Topan. Ada beberapa titik cerita yang hampir nggak bisa gw maafkan. Salah satunya keberadaan Prita yang di mana-mana banget. Menurut gw dengan segala
set-up dan
believability yang sudah ditampilkan film ini, ke-mahaada-an Prita yang tanpa penjelasan bikin jadi agak gimanaaa gitu. Dia punya kios di luar stasiun, tiba-tiba beberapa kali ada di dalam stasiun baik siang maupun malam, padahal kiosnya nggak ada yang jaga selain dirinya seorang. Untung saja akting Marsha Timothy yang begitu natural tanpa beban lumayan bisa membuat gw melupakan
bug itu. Tapiii, mungkin unsur satunya lagi memang tak termaafkan: tata musik. Huff...Ini nonton film atau dengerin kaset
30 Nonstop Hits? Maeennn mulu kagak berhenti-berhenti. Film bisu juga bukan. Ayolah, seperlunya aja. Nggak perlu setiap pelukan harus dikasih "jreng jrengggg!!" kan? Bahwa penata musiknya adalah orang yang sama dengan yang mengurus Ayat-Ayat Cinta, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan
Habibie & Ainun mungkin
explains it all, tapi masak udah 2013 gayanya masih begitu terus. Dan sutradara/produsernya ngebiarin pula. Bingung saya.
Tetapi kembali lagi, Tampan Tailor bukanlah film yang buruk, malah termasuk jajaran film drama melankolis yang berkualitas baik. Baiklah, ada keanehan di satu-dua titik, ada beberapa adegan dramatis yang (harus banget ya?)
slow-motion, dan tata musiknya menjengkelkan, tetapi aspek-aspek lainnya cukup berhasil menutupinya. Jalan ceritanya dijalin logis dan tidak terlalu terkesan mengada-ada. Pengarahan adegannya memang film banget, tapi tidak terlalu berlebihan. Akting pemainnya nggak ada yang tercela, ya termasuk Vino G. Bastian yang membuat gw sejenak lupa dengan perannya yang berbeda di film
Madre yang gw tonton sehari sebelumnya. Dan saking menghayati dan konsistennya mas Vino, gw juga berhasil mengabaikan logika bahwa mas Vino ini terlalu
pretty untuk kerja jadi calo atau kuli atau dipekerjakan jadi
stuntman bukannya aktor.
Apapun itu, Tampan Tailor adalah film yang nyaman sekaligus enak disaksikan dan dinikmati, malah bukan tak mungkin sebagian orang akan merasa tersentuh dan terharu (gw sih belum segitunya, hehe, mungkin gara-gara musiknya ^_^!). Keselarasan cerita, dialog, penceritaan, presentasi visual dan juga akting mantap pemainnya adalah sebabnya, juga dihiasi humor membumi yang menambah nilai hiburannya. Dibilang adikarya memang bukan, tetapi setidaknya sukses masuk jajaran film nasional yang pantas diapresiasi sekaligus disukai. Ini seperti sinetron/FTV yang wonderfully enhanced, atau bagaikan film produksi Demi Gisela versi less pretentious. It's pretty good. Dan setidaknya di sini ada sedikit pengetahuan tentang profesi penjahit, bahwa yang namanya "lem kodok" itu bukan lem =P.
My score:
7,5/10