What They Don't Talk About When They Talk About Lovea.k.a. Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta(2013 - Cinesurya Pictures/Amalina Pictures)Written & Directed by Mouly SuryaProduced by Rama Adi, Tia Hasibuan, Fauzan Zidni, Ninin MusaCast: Karina Salim, Ayushita Nugraha, Nicholas Saputra, Anggun Priambodo, Lupita Jennifer, Jajang C. Noer, Tutie Kirana, Khiva IskakDari segi mana pun, kesan yang terpancar dari What They Don't Talk About When They Talk About Love adalah "wih pasti aneh nih". Judulnya panjang bangeut, pake bahasa enggris, apalagi sebelumnya menjadi film Indonesia pertama yang masuk kompetisi di Festival Film Sundance 2013 di Amerika Serikat—festival film independen terkemuka dunia, kesan "film festival yang sulit dicerna" pun semakin nempel. Honestly, film ini memang bukan tipe crowd-pleasing, butuh kesabaran dan niat tulus untuk menontonnya, bukannya sekadar sebagai selingan. Tetapi jika melesapkan semua kecurigaan dan harapan yang enggak-enggak, film ini sendiri nyatanya sebuah karya yang manis, heartfelt, dan orisinal. Gw malah merasa film ini salah satu yang paling orisinal yang pernah gw tonton. Intinya, film ini tidak boleh dilewatkan begitu saja, lagipula nggak se-aneh itu kok. Dan gw selanjutnya akan merujuk film ini sebagai "film ini" saja, karena judulnya kepanjangan, dan singkatan resminya (Don't Talk Love/Tidak Bicara Cinta) rasanya kurang mencakup, jadi ya udahlah ya.
Film ini hendak bercerita tentang cinta antar remaja usia SMA di sebuah Sekolah Luar Biasa di Jakarta, dalam hal ini SLB untuk penyandang tunanetra (istilahnya SLB A *abis ngewiki*). Ada Diana (Karina Salim) yang dari keluarga berada mengalami cinta pertamanya dengan teman sekelasnya, Andhika (Anggun Priambodo). Lalu ada Fitri (Ayushita Nugraha, iya, Ayushita yang dulu poninya bentuk lope-lope itu), yang gemar dengan kisah supranatural, menemukan cintanya dengan "hantu dokter", yang sebenarnya adalah manusia bernama Edo (Nicholas Saputra), anak ibu warung dan penghuni lingkungan SLB (Jajang C. Noer). Kedua kisah ini akan biasa banget bila kita melupakan bahwa Diana itu penyandang low-vision—bisa melihat hanya dari jarak deket banget/nempel muka, Andhika dan Fitri penyandang tunanetra total, dan Edo si anak punk tunarungu. Dalam keadaan masing-masing, proses mereka menemukan cinta itu tentu tidak biasa. Bagaimana Diana bisa menarik perhatian Andhika tanpa saling lihat-lihatan dulu? Bagaimana Edo yang tak bisa bicara dan mendengar menyampaikan perasaannya kepada Fitri yang tidak bisa melihat? Penggambaran proses inilah yang bagi gw menjadikan film ini unik, karena gw belum pernah menyaksikan yang seperti ini. Begitu telaten dan detil, dan tetap bikin senyam-senyum saking manisnya.
Dengan
setting, karakter, serta fokus penceritaan, sebenarnya gampang saja menangkap apa yang mau disampaikan sutradara dan penulis Mouly Surya lewat film bioskop keduanya sejak
Fiksi. (2008) ini. Bahwa meski memiliki kekurangan fungsi fisik, mereka sama kok kayak umumnya remaja, caranya aja yang beda. Mereka punya segala kesukaan dan kemauan, dan labil, hanya saja perlu cara tersendiri untuk menyampaikan dan memenuhinya. Bandel-bandelnya juga nggak jauh beda sama yang anak-anak yang fisiknya berfungsi lengkap. Diana-Andhika adalah contoh cinta monyet paling standar,
innocent, pula jenaka, menyaksikan kisah mereka adalah bagian menghibur dalam film ini. Fitri-Edo adalah versi nakalnya, yang digerakkan oleh gejolak nafsu kawula muda, namun tak kalah romantisnya. Keberhasilan film ini bukan untuk mengajak mengasihani keadaan tokohnya, tetapi membawa penonton (setidaknya gw) untuk benar-benar memandang segala sesuatu dari sudut pandang mereka, yang sudah sampai pada tahap nyaman dan santai saja dengan kehidupannya sekalipun fungsi inderanya tidak lengkap.
Memang seakan-akan tokoh-tokoh ini seperti steril dari keadaan sosial lebih luas, hanya berkutat pada lingkungan SLB (ada asramanya) yang fasilitasnya relatif cukup baik, tetapi mungkin memang sejauh itulah dunia mereka di usia ini, belum saatnya mengkhawatirkan hal yang lain-lain. Persentuhan tokoh-tokoh ini dengan dunia luar digambarkan minim, paling hanya diwakili Maya (Lupita Jennifer) si remaja ngartis penggemar
rainbow cake yang sering mampir dan ikut kegiatan di SLB, atau Edo yang beli rokok di 7-Eleven, atau pacar Fitri yang sehat-lahir-tapi-batin-belum-tentu (Khiva Iskak) yang kerap memanfaatkan Fitri demi isi celananya. Namun, film ini tidak membahas tentang pembedaan anak-anak penyandang cacat dengan yang bukan, tidak juga bertitikberat pada perlakuan yang mereka dapatkan dari masyarakat. Film ini hanya bicara, emmm, cinta. Sesederhana itu. Ditambah dengan sebuah segmen "
what-if" yang jujur agak mengejutkan dan membingungkan, gw malah semakin jelas menangkap bahwa yang ingin disampaikan mbak Mouly ketika membuat kisah cinta antar remaja dengan disabilitas ini adalah penekanan pada cinta remajanya, bukan semata-mata soal disabilitasnya. Artinya—sekalipun tentu menyematkan misi
awareness—film ini hanya mau bercerita tentang cinta "biasa" milik anak-anak remaja luar biasa ini, bukan mengeksploitasi dengan haru biru apalagi merendahkan. Tentang kehidupan normal,
but different version of normal.
And I think she did it brilliantly.
Konsep dan pengisahan yang brilian itu pun semakin memukau dengan presentasinya yang sangat cantik ciamik joss gandhos. Dengan kisah yang visioner dan orisinal seperti ini, aspek lain pun melengkapi dengan eloknya. Production design-nya terlihat apa adanya namun sangat teliti dan berfungsi, pun tata sinematografinya begitu menggoda iman saking kerennya, bahkan dari shot paling awal dengan angle-angle artistik. Presentasinya visual begitu artsy, melengkapi tata adegannya yang panjang-panjang dan, well, banyak yang akan menganggapnya lamban (contohnya ngitung 70 sampe 100 sambil sisiran tanpa cut =p), jarang dialog pula. Tetapi anehnya gw selalu merasa ada yang menarik untuk disaksikan di layar. Menyaksikan sebuah proses kegiatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kita secara seksama itulah yang berhasil membawa gw masuk ke dalam dunia plus jalan pikiran Diana cs. Tambahkanlah itu dengan tata suara yang fungsional, penyuntingan yang nggak nyiksa, musik yang cantik, bahkan pemilihan lagu-lagu soundtrack yang tak sembarang ("Nurlela"-nya Bing Slamet itu highlight), dan tentu saja kunci pentingnya ada di performa aktor yang nyaris tanpa cela. Akting mereka di sini, terutama empat tokoh utama kita, bukan cuma soal memerankan tokoh dengan disabilitas, namun juga penyampaian emosi ala anak-anak remaja yang genuine dan mengundang empati. Perihal ini, predikat istimewa versi gw akan diberikan pada Karina Salim yang innocence-nya begitu believable, dan Nicholas Saputra yang selalu handal dan terpercaya kualitasnya.
Yah terserah mau dibilang sok nyeni atau apalah, tetapi buat gw film ini adalah film yang luar biasa. Benar, ini sebuah film art, jenis yang kerap "ditakuti" khalayak umum. Penuturan dan kemasannya memang agak lain dari yang lain, tetapi bila mau bersabar, maka efek menyenangkan seusai menontonnya pasti didapat jua. Ini kisah(-kisah) cinta yang manis, dan semakin manis karena film ini memaparkan cara merajut cinta yang sangat jarang terlihat atau terpikirkan oleh sebagian besar orang, yang disampaikan melalui bahasa gambar yang teliti tak banyak omong. Lewat film ini, mbak Mouly membuktikan bahwa kualitas kerjanya di film Fiksi. yang cermat dan "sakit" itu (dan berbuah 4 piala Citra FFI 2008) bukanlah kebetulan, bahkan kalau jujur film ini melebihi ekspektasi gw berdasarkan film tersebut. I thought it was going to be too weird and distant. Gw justru melihat film ini lebih cermat, lebih indah, lebih pas dengan pacing-nya yang slow, dan lebih terasa emosinya lewat caranya membangun tiap-tiap karakter dengan perlahan. Senyum yang tersungging di muka gw di hampir sepanjang film dan sesudahnya adalah buktinya. Film yang unik dan cantik, sekaligus memberi suka hati dengan caranya sendiri. Film istimewa ya kayak gini ini.
My score:
9/10