9 Summers 10 Autumns(2013 - Angka Fortuna Sinema)Directed by Ifa IsfansyahScreenplay by Fajar Nugros, Ifa Isfansyah, Iwan SetyawanBased on the novel by "9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke the Big Apple" by Iwan SetyawanProduced by Edwin Nazir, Arya Pradana, Diana NazirCast: Ihsan Tarore, Alex Komang, Dewi Irawan, Agni Pratistha, Dira Sugandi, Hayria Faturrahman, Shafil Hamdi Nawara, Epy Kusnandar, Ence Bagus, Ria Irawan, Ade IrawanJaminan mutu sudah tertera pada film 9 Summers 10 Autumns ini. Ada nama-nama aktor sekaliber Alex Komang dan Dewi Irawan, pun ada sutradara Ifa Isfansyah.
Well, karya Ifa sebelumnya,
Ambilkan Bulan mungkin terlalu "coba-coba" jika dibandingkan film-filmnya yang lebih apik seperti Garuda di Dadaku atau tentu saja
Sang Penari, namun mantu Garin Nugroho ini semakin hari semakin layak dipercaya dalam menghasilkan karya berkualitas dan enak ditonton. Yang jadi garapannya kali ini adalah kisah nyata seorang putra dari keluarga sangat sangat sederhana di Batu (tetangganya Malang) yang dalam usia awal 30-an sukses menjabat posisi direktur sebuah perusahaan di New York! Yoih, New York yang itu. Anak sopir angkot dari sebuah daerah yang bahkan banyak orang yang gak yakin letaknya di mana, bisa memimpin sebuah perusahaan multinasional di kota terbesar di dunia.
Iwan Setyawan (Ihsan Tarore, waktu kecil dimainkan Shafil Hamdi Nawara), atau sering dipanggil Bayek, adalah semacam anak harapan keluarga karena dialah satu-satunya anak laki-laki dari lima anak yang dipunyai Bapak (Alex Komang) dan Ibuk (Dewi Irawan). Walaupun hidup pas-pasan di rumah yang sempit, Iwan termasuk anak cemerlang yang giat belajar, bahkan digambarkan suka dengan pelajaran yang di atas stratanya, terutama hitung-hitungan. Setelah lulus SMA, Iwan berhasil masuk Institut Pertanian Bogor jurusan Statistika lewat jalur PMDK (tanpa tes UMPTN, atau apalah itu istilahnya sekarang), lalu bekerja di perusahaan surveyor di Jakarta hingga akhirnya berhasil lolos untuk bekerja dalam bidang yang sama di New York mulai tahun 2001, dan beberapa tahun kemudian bisa menduduki jabatan tertinggi di sana.
Tentu saja penceritaan nggak cuma segitu doang. Soal kesulitan ekonomi tentu ditunjukkan, tetapi masa kecil Iwan dan posisinya dalam keluarga juga patut disimak. Ia anak yang berprestasi di tengah segala keterbatasan itu (termasuk sifat pemalunya yang banget-banget), dijaga betul sama Ibuk dan kakak-adiknya, tetapi tidak serukun itu dengan si Bapak. Ibuk menanamkan Iwan kelak dapat memperoleh lebih dari yang mereka punya sekarang, sedangkan harapan Bapak tak jauh-jauh ingin anaknya kelak jadi "laki-laki", tulang punggung keluarga seperti dirinya. Yah, bisa dimengerti sih kegemasan si Bapak melihat kesenangan dan kegiatan Iwan emang kurang "anak laki" pada umumnya: nyaris gak pernah main di luar, dan lebih sering membantu Ibuk dan kakak-kakaknya di dapur ketimbang bantuin Bapak merawat mobil angkot. Pas udah gedean lumayanlah Iwan mau disuruh jadi kernet angkot sepulang sekolah. Namun, tetap saja didikan keras Bapak yang ingin putranya membantu usahanya dan stop berpolah gunyu-gunyu itu menimbulkan konflik batin pada Iwan yang memang lebih suka sama hal-hal akademik dan seni. Ini semakin memuncak ketika Bapak keberatan sama niat Iwan ke IPB, yang berarti meninggalkan seluruh keluarga.
Gw salut dengan kisah yang diangkat dalam film ini. Iwan Setyawan asli yang (menurut kredit) ikut dalam penulisan naskahnya kelihatan sekali begitu sayang pada keluarganya. Salutnya lagi, film ini (paling tidak kesannya) bertutur apa adanya bukannya hanya menunjukkan yang bagus-bagus aja. Terlepas dari distorsi memori ataupun dramatisasi, setidaknya penggambarannya menjadi tidak one-dimensional. Iwan tidak malu dengan gambaran Bapak yang pernah masuk penjara, tidak keberatan film ini menunjukkan sense of fashion-nya yang ngondek mencolok kayak lebih cocok untuk cowok-cowok Osaka daripada New York, tidak malu juga dengan penggambaran dirinya pernah abai membiayai keluarga demi pergaulan middle-class sok-kaya ala Jakarta. Ia bahkan tidak ragu menempatkan dirinya sendiri sebagai tokoh yang, well, paling "kurang ajar" di antara anggota keluarganya. Kentara bahwa tujuan dibuatnya kisah ini bukan untuk bilang "aku hebat", tapi "keluargaku hebat". Sebab, tanpa keluarga serta dinamika hubungannya, terutama dengan Ibuk dan Bapak, ia tidak bakal bergerak untuk mencapai segala yang akhirnya dia capai, pun dengan tetap menjadi dirinya sendiri (perlu diperhatikan bahwa Iwan menekuni bidang yang memang dia gemari).
Salut juga perlu ditujukan pada Ifa Isfansyah dan tim yang berhasil menata kisah perjalanan hidup Iwan, yang jujur saja berpotensi berjalan datar karena absennya konflik besar, menjadi suguhan sinematik yang rapih dan mudah dinikmati. Kepekaannya pada hal-hal kecil membuat adegan demi adegan selalu tampak berwarna, selalu ada yang menarik disimak. Ada jenaka, ada haru, ada cinta monyet, namun semua terasa alami dan mudah terhubung dengan penontonnya. Di sisi lain, penggambaran kesepian Iwan di New York dengan membuatnya berinteraksi khayal dengan Iwan kecil juga tidak terasa janggal. Kisah dituturkan perlahan tapi pasti dan membuat penasaran sekalipun penonton sudah punya bayangan bagaimana akhirannya. Detil-detil produksinya nyaris tiada cela. Tata adegan, sinematografi, tata suara, tata musik, penyuntingan, semua terlihat dan terdengar indah, cakep dah. Sudut-sudut yang dalam kenyataan tampak nggak enak dilihat pun bisa terkesan estetik (kayak rumah Iwan di Batu, kostnya di Bogor, dsb). Desain produksi juga perlu diberi pujian atas keberhasilannya menggambarkan pergantian era dari 1980-an hingga 2010-an dengan mulus sampai ke properti terkecil seperti kaleng margarin Palmboom vintage ataupun budaya pop 1990-an seperti Catatan Si Boy dan Asia Bagus =).
Sekarang dari segi akting, Ihsan kali ini sukses meyakinkan bahwa dia mampu berakting dengan baik dan berdedikasi. Mungkin juga karena perjalanan hidup Iwan Setyawan tidak terlalu beda dengannya yang juga memperoleh sukses nasional sekalipun datang dari keluarga sangat sederhana *eh inget aja gw =p*, penggunaan aksen Jawa-nya pun tidak tampak kaku. Namun, jawara akting tentu saja ada pada Alex Komang dan Dewi Irawan yang bikin gw nggak bisa bayangkan kalau yang main bukan mereka. Pak Alex sukses menjadi seorang Bapak pekerja keras dan berwatak keras yang punya cara sendiri dalam menunjukkan kasih pada sang putra, dan Ibu Dewi tak kalah cadas sebagai Ibuk yang selalu ada untuk Iwan, termasuk membelanya dari kekeraskepalaan sang Bapak. Sedangkan penampilan aktor-aktor lain umumnya tak terlalu banyak namun cukup berkesan, seperti Agni Pratistha, Hayria Faturrahman, Epy Kusnandar, Ence Bagus (jadi sopir mikrolet yang sering gw naikin, M-26 Kampung Melayu-Bekasi =)), aktor-aktor cilik yang asli dari sekitaran Malang, hingga yang singkat banget tapi apik dari Ade Irawan sebagai eyang putri dan Ria Irawan sebagai ibu jual pecel lele. Mungkin justru aktor-aktor bulenya yang kaku banget. O well, nggak papa lah.
9 Summers 10 Autumns bisa dianggap hanyalah satu lagi kisah sukses yang diharapkan dapat menginspirasi banyak orang. Setahu gw penonton Indonesia banyak yang suka dengan film semacam ini, seperti terlihat pada sambutan Laskar Pelangi,
Sang Pemimpi, atau
Negeri 5 Menara. Nah anggaplah 9 Summers 10 Autumns ini versi penyendirinya. Tetapi, kelebihan film ini adalah caranya memberi perspektif berbeda. Film ini tidak cuma memperagakan bagaimana Iwan kecil yang "takut miskin" akhirnya bisa jadi lebih dari yang dia impikan, kalau gitu doang mah baca sinopsis juga selesai. Film ini bercerita dari perenungan Iwan di tengah kesuksesannya di negeri orang yang merindukan pusat hidupnya: keluarganya. Keluargalah penggerak utama kisah ini. Itu pula yang dapat menjelaskan kenapa lebih banyak adegan ber-
setting Indonesia ketimbang di New York, karena bukan New York-nya yang harus diagung-agungkan—sekalipun bagian New York-nya memang asli 100% di New York *ala-ala film apaaa gitu ya*. Cerita sederhana dan membangkitkan, penuturan enak dan menghibur, aktor-aktor bagus, dilengkapi dengan tata audio visual serba apik, 9 Summers 10 Autumns (yang btw artinya 9 musim panas dan 10 musim gugur=10 tahun, kali aja ada yang nanya) adalah film yang hangat, memberi banyak senyuman, serta harusnya banyak ditonton masyarakat. Ucapkan salam.
My score:
8/10