Aku Ingin Ibu Pulang(2016 - Maxima Pictures/SRN Productions)
Directed by Monty TiwaWritten by Titien Wattimena, Monty Tiwa, Alim SudioProduced by Ody Mulya Hidayat, Sonya LaohCast: Jefan Nathanio, Nirina Zubir, Teuku Rifnu Wikana, Geccha Tavvara, Nova Eliza, Deddy Mahendra Desta, Verdi Solaiman, Mario Irwinsyah, Reza Nangin, Andy F. Noya, Acha SinagaDari segi apa pun film ini memang sepertinya berniat menggiring haru. Dari premisnya, posternya, trailer-nya. Judulnya hampir nggak ke sana—awalnya proyek film ini dikenal dengan judul Gantung di Monas or semacamnya, tapi kemudian diubah jadi kalimat mendasar dan sederhana yang penuh rasa, Aku Ingin Ibu Pulang. Apakah filmnya sendiri juga demikian, well, kurang lebih sih begitu. Benang merah mendasar film ini adalah seorang anak SD kurang mampu bernama Jempol Budiman (Jefan Nathanio) yang mencari ibunya yang minggat dari rumah, dan kesempatan itu semakin besar saat dia diundang dalam acara talk show Kick Andy yang tayang di TV—apakah kisah ini memang pernah "mampir" di Kick Andy beneran gw kurang tahu, tapi sepertinya seluruh kisah ini memang fiksi.
Tetapi, sebelum sampai ke sana, Jempol menceritakan dulu awal mula ibunya, Satri (Nirina Zubir) bisa menghilang. Tepat saat pergantian semester, Jempol raih juara kelas dan dihadiahi uang—walah kok enak, tahu gitu 'kan gw dari dulu ambisi ranking satu terus dulu *mata duitan*. Uang itu disuruh ayahnya, Bagus (Teuku Rifnu Wikana) untuk disimpan buat ongkos dan jajan pas nanti masuk sekolah lagi. Namun, kecelakaan menimpa Bagus saat bekerja senagai kuli bangunan, kakinya cedera hingga cuma bisa di tempat tidur nggak bisa ke mana-mana, artinya dia untuk sementara nggak bisa kerja, nggak dapat upah untuk kebutuhan sehari-hari, sementara perlu uang juga untuk pengobatan dong. Satri sendiri bekerja di sebuah toko obat herbal Tiongkok, gajinya nggak seberapa, dan sayangnya udah numpuk pinjaman ke bosnya (Verdi Solaiman). Jempol kemudian mencari cara-cara supaya dirinya juga bisa bantu nambah uang untuk pengobatan bapaknya—tapi ya anak kecil sanggupnya apa dan dapatnya berapa sih, dan itu nggak cukup untuk meredam tekanan yang menimpa keluarganya.
So....as you can see, film ini sebenarnya balik lagi pada materi kisah yang ribuan kali diceritakan di berbagai format, perjuangan orang-orang menghadapi kerasnya hidup, khususnya segi ekonomi, yang merembet ke persoalan-persoalan lainnya. Basi? Bisa jadi, tapi
Siti aja kemarin ceritanya di area ini juga malah dipuja-puji setengah mati sana-sini, yah anggap saja kisah semacam ini memang masih
connected sama orang-orang kita sekarang. Tanpa bermaksud membandingkan, dan lebih karena Siti adalah film terakhir yang gw tonton ceritanya sejenis serta berhubung hampir nggak pernah nonton FTV religi siang-siang lagi yang sering angkat premis serupa, Aku Ingin Ibu Pulang mungkin adalah versi lebih aksesibel, lebih emosional, dan lebih
family friendly dari Siti. Jenis dan beratnya perjuangannya sama, tapi ini dari sudut pandang si anak dan *
thank goodness* tanpa harus menyentuh ranah sensualitas. Oh, dan gambarnya berwarna.
Gw sendiri bisa paham sama beberapa keputusan yang diambil oleh beberapa karakternya, betapapun bodoh kelihatannya *ciaah 'betapapuuun', berasa berita bahan makanan kedaluwarsa ~\o/*. Pas bapaknya celaka panggilnya tukang urut bukannya langsung dokter karena takut lebih mahal, atau frustrasinya Bagus yang ingin pegang janji nggak ingin memakai uangnya Jempol tapi ya gimana penghasilan nggak makin bertambah, frustrasi Satri mengurus suami dan si Jempol yang tak selalu nurut dan ngaruh ke kerjaannya dia, atau Jempol yang belum ngerti pentingnya ngurus bapaknya sendiri, hingga ke pertengkaran Satri dan Bagus, yang merupakan adegan puncak emosi dari film ini. Menurut gw secara garis besar, well, setidaknya di duapertiga awal film ini, dituturkan dengan lancar dan sempat bikin gw terhanyut dalam perjuangan keluarga kecil ini, apalagi ada garnish humor yang jadi ciri sutradara Monty Tiwa.
Akan tetapi, dari titik sana sampai seusai nonton, gw nggak bisa mengenyahkan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang lama-lama makin mengikis potensi kesukaan gw sama film ini. Mungkin yang paling striking adalah dari sisi kesehatan yang jadi bagian pemicu konflik-konflik film ini. Dari yang sesederhana Bagus jatuhnya gimana tapi lukanya di mana, ke sejauh apa sih letak klinik/puskesmas/rumah sakit di sekitar rumah Jempol yang bisa kelihatan Monas yang berarti mereka tuh ada di tengah-tengah kota banget, sampai ke poin sakit Bagus menjalar ke organ-organ vital yang gw nggak ngerti itu gimana ceritanya bisa nyambung sama patah kaki. Buat gw ini menimbulkan kesan film ini berbuat curang dalam membuat tokoh-tokohnya menderita demi meraih simpati penonton padahal sebenarnya nggak perlu sampai segitunya.
Malah, dalam benak gw malah timbul ide baru, bahwa cerita Jempol-Bagus-Satri ini bisa dipakai untuk menggambarkan susahnya mendapat pelayanan kesehatan di Indonesia, baik karena pelayanannya kurang menjangkau dan administrasinya ngejlimet (syarat BPJS atau surat-suratan dan kartu-kartuannya itu), maupun mindset rakyat kita yang sebagian masih nggak terbiasa sama penanganan medis selama ada aternatif yang (diyakini) lebih murah sekalipun bangsa udah merdeka 71 tahun—apa kabar batu Ponari? Namun, film ini lebih milih gampangnya aja, yang penting ceritanya sedih, tanpa memberi value lebih dari kasihan-kasihan sedih dan memancing rasa syukur semu bagi penonton yang tidak semenderita keluarga Jempol.
Satu lagi yang menurut gw agak bikin geleng-geleng adalah usaha para pembuatnya agar film ini jadi "inspiratif", dengan pilihan-pilihan tokohnya di bagian akhir yang istilahnya diromantisasi. Ini nggak terkait sama asmara ya, maksud gw adalah keputusan-keputusan si Jempol dibikin berlawanan dengan logika umum biar dramatis dan yang nonton jadi terenyuh dan berharap "terinspirasi". Well, romantis sama mubazir emang itu beda-beda tipis ya, tapi untuk sebuah yang masih merefleksikan realita hidup di ceritanya, film ini terlalu tajam belokan "ngarang"-nya di akhir-akhir. 'Kan kesel.
Ya sudahlah, paling nggak film ini sudah sempat bikin gw dapat mengikuti ceritanya—sebagian—tanpa bertanya-tanya saat menonton. Dan, para pemainnya juga mampu memberi performa yang baik, terkhusus Nirina Zubir yang menurut gw memberikan salah satu akting terbaiknya so far. Bikin haru sih ada lah di beberapa tempat, tapi yang lebih sedih lagi saat gw membayangkan what this film could've been jika ceritanya digali lebih serius lagi tanpa harus mengkompromikan kemampuan akting pemainnya dan penuturan yang dapat dinikmati kalangan luas.
My score: 6,5/10