Ini Kisah Tiga Dara(2016 - SA Films/Kalyana Shira Films)
Directed by Nia DinataScreenplay by Lucky Kuswandi, Nia DinataBased on the 1956 film Tiga Dara written by Usmar Ismail, M. Alwi DahlanProduced by Nia DinataCast: Shanty Paredes, Tara Basro, Tatyana Akman, Titiek Puspa, Rio Dewanto, Reuben Elishama, Richard Kyle, Ray Sahetapy, Cut Mini Theo
Kabar tentang proyek
remake film Tiga Dara (1956) oleh Nia Dinata menimbulkan
mixed feeling buat gw. Di satu sisi gw cukup menantikan karena ini digarap oleh
the Nia Dinata, yang akhirnya menyutradarai film setelah terakhir bikin Arisan! 2 tahun 2011.
I like a couple of her works (terutama Berbagi Suami), apalagi kali ini ada Shanty yang
comeback berakting. Tetapi, di sisi lain proyek ini agak mengkhawatirkan gw, sekalipun gw saat itu belum nonton film aslinya yang konon legendaris itu. Pertama, film ini sangat berisiko karena berformat musikal, format yang sebenarnya gw sukai, tapi
generally kurang populer di Indonesia baik yang lokal maupun yang Hollywood, dan menurut gw butuh keterampilan tinggi untuk membuat format ini berhasil. FYI, Nia Dinata belum pernah membuat film berformat musikal. Sedangkan yang kedua,
that title.
Of all the phrases in bahasa Indonesia
they chose the elementary textbook-y Ini Kisah Tiga Dara--ya mungkin ini juga gara-gara judul mirip udah dipakai sama
3 Dara punya MNC Pictures tahun lalu yang nggak ada sangkut pautnya sama film Tiga Dara dan
basically nggak nyambung juga judul sama ceritanya =p. Tapi ya sudahlah.
Entah ini
advantage atau bukan,
production house SA Films yang kerja sama untuk produksi Ini Kisah Tiga Dara juga bertanggung jawab dalam merilis
restorasi film Tiga Dara asli di bulan Agustus lalu, yang juga udah gw tonton. Sepengelihatan gw, Ini Kisah Tiga Dara masih memegang benang merah cerita dan karakter dari film aslinya, walaupun nama, latar tempat dan waktu dan segala konteksnya berbeda.
Dimulai juga dengan ulang tahun si putri tertua, Gendis (Shanty Paredes), yang kini masuk usia 32 tahun tetapi tidak ada tanda-tanda akan berumahtangga--setelah 60 tahun pergeseran 'usia darurat' bagi wanita lajang ternyata hanya bergeser tiga tahun =\. Gendis bukannya has nothing to do, tetapi itulah yang dianggap menghalanginya dapat jodoh. Gendis terlalu sibuk bekerja sebagai kepala chef hotel milik keluarganya di Maumere, Flores, NTT, dan dia juga terlalu judes. Si Oma (Titiek Puspa) mulai mencoba mencari cara agar Gendis bisa cepat dapat jodoh. Kemudian datang sosok pengusaha adventurous bernama Yudha (Rio Dewanto) yang tampak tertarik sama Gendis, tapi karena Gendis tanggapannya agak hostile, malah adiknya, Ella (Tara Basro) yang maju mendekati Yudha, padahal Ella sudah lama diperhatikan oleh temannya sejak kecil, Bima (Reuben Elishama). Mirip 'kan? Satu hal yang paling membedakan adalah arc soal si bungsu Bebe (Tatyana Akman yang screen-presence-nya asyik sekali), masih dibikin sebagai dara paling ceria, tetapi di sini ditambahkan lagi sebagai sosok yang free, sampai-sampai hubungan mesranya dengan tamu hotel blasteran, Eric (Richard Kyle) bikin si Oma ketar-letir.
Setelah menonton Ini Kisah Tiga Dara, rupanya mixed feeling itu belum bisa reda dari gw. On the bright side, film ini behasil menggabungkan kisah roman dan kisah "jalan-jalan". Film ini beruntung bahwa inti cerita dari Tiga Dara asli itu masih relevan sama situasi sekarang, sehingga tinggal dikembangkan dengan ornamen-ornamen kekinian. Gw bisa mengikuti alur kisah cinta ketiga dara ini tanpa kesulitan berarti, terutama ketika dimasukkannya kepentingan bisnis dalam hubungan Gendis dan Yudha--ke sananya agak gombal-gombal juga sih, tetapi bangunan hubungan mereka cukup masuk akal buat gw. Demikian juga dengan ditampilkannya latar tempat eksotis, termasuk memamerkan unsur kebudayaan tradisional dan "promosi wisata" tentang makanan, bangunan, kerukunan, dan keamanan sampai-sampai nggak perlu khawatir kalau lupa mengunci mobil di tempat umum =). Belum lagi film ini sangat enak sekali dipandang berkat desain produksi, sinematografi, dan pewarnaan gambarnya, cantek sekali. Gw sendiri sebenarnya merasakan film ini set-up-nya agak lama untuk masuk ke inti cerita utamanya, tapi nyatanya selama dua jam durasi gw enak-enak aja nontonin film ini.
Namun, bukan berarti gw bisa mengabaikan kekurangannya yang sebenarnya cukup
apparent. Sebagai film musikal, sisi musikal dari Ini Kisah Tiga Dara sayangnya tidaklah kuat. Dari penataan koreografi yang kurang serasi dengan musiknya yang bergenre
swing jazz, penataan rekaman vokal (
mixing?) yang nggak seimbang, dan yang menurut gw amat sangat penting: kameranya terlalu statis dan kaku. Kalau mau perbandingan langsung, adegan-adegan di film musikal modern seperti Moulin Rouge,
Chicago, serial Glee, bahkan adegan
lip sync di
3 Srikandi itu jadi menyenangkan dan menggugah karena kameranya juga "ikut menari", atau minimal
angle-nya lebih dari lima biar ngedit-nya juga lebih enak *sotoy*--tentu berbeda dengan Sweeney Todd dan
Les Misérables yang lebih mirip opera sehingga lebih kalem lebih baik. Padahal Ini Kisah Tiga Dara sudah didukung sama lokasi, desain produksi, dan kostum yang kinclong, tetapi eksekusi musikalnya tidak bisa meng-
engage gw dan tidak juga menambahkan nilai dalam ceritanya. Mungkin panutan film ini lebih ke
Mamma Mia!, tapi
that's not a very good panutan karena film itu buat gw adegan-adegan musikalnya juga aneh, hehe. Satu-satunya
musical number yang menurut gw sukses adalah
ballad yang terbilang
catchy,"Semesta Punya Cara" yang dinyanyikan tokoh Bima, dan itupun lagu
slow tanpa tarian.
That being said, gw tetap mau mengapresiasi film ini karena, seperti gw singgung tadi, secara keseluruhan film ini tetap bisa gw nikmati....somehow =D. Mungkin karena paduan akting yang asyik antara Shanty, Tara, Tatyana, dan the always-sunny Titiek Puspa, yang mampu make up for karakterisasi cowok-cowoknya yang lebih jadi semacam pemanis--Ray Sahetapy yang jadi si bapak juga kayak hampir nggak pernah dikasih close-up bahkan saat berdialog itu kenapa ya? Mungkin juga pemandangan alam dan budaya pulau Flores mampu menjadi kompensasi terhadap pembawaan filmnya yang nggak selucu dan semenyenangkan film aslinya. Mungkin karena warna-warni visualnya yang merekah bisa bikin gw memaklumi terlalu banyaknya selipan bahasa Inggris dalam dialog dan lagunya yang bikin kesan semua tokoh di film ini sekolah barengan Cinta Laura--well, to be fair, keluarganya Cinta Laura juga di perhotelan sih. Mungkin adanya konteks yang cukup make sense di bidang bisnis pariwisata bisa bikin gw teralihkan dari penyelesaian nilai-nilai pergaulan urban yang ditampilkan mentah bikin geleng kepala. Intinya, for most of the time, I was not resisting to enjoy it *ciee bahasa Inggris*. Bukan film sempurna, apalagi dikomparasi sama film aslinya yang memang klasik, tetapi gw tetap merasa dua jam nonton ini di bioskop somehow nggak rugi-rugi amat.
My score:
7/10