A Monster Calls(2016 - Participant Media/River Road Entertainment/Focus Features)
Directed by J.A. BayonaScreenplay by Patrick NessBased on the novel by Patrick NessBased on an original idea by Siobhan DowdProduced by Belén AtienzaCast: Lewis MacDougall, Felicity Jones, Sigourney Weaver, Toby Kebbell, Liam Neeson, James Melville, Geraldine ChaplinSebelum me-review, gw mau cerita colongan dikit, menonton film yang penontonnya ada anak-anak kecil itu memang menarik ya. Apalagi kalau filmnya kelihatannya cocok untuk anak-anak, tapi ada aja yang nggak cocok. Yang menarik dari pengalaman gw nonton A Monster Calls di bioskop adalah berada satu studio sama seorang anak kecil yang duduk di pojok atas yang sangat aktif dan tidak malu bertanya kepada orang tuanya. Deskripsi ini mungkin pertanda positif bagi pemerhati pertumbuhan anak dan Kak Seto, tetapi dalam situasi yang menuntut sopan santun seperti di dalam bioskop, nanya setiap hal yang terjadi di layar dengan suara keras—"itu lagi nggambar apah?" "itu kenapa nangis?" "itu ibunya kenapa?" "itu suara apah?" "kok gerak-gerak?" "itu mau lari ke mana?" "kok diem?"—tentu lebih ke arah menjengkelkan daripada menggemaskan. Ya 'kan? Maksud gw, 1) mbok orang tua yang mendampingi berbuat sesuatu supaya at least dia ngomongnya berbisik, dan 2) mbok jadi bocah sing sabar gitu lhoo, nanti juga dikasih tahu sama sutradaranyaaa, hadeeeeh. Pesan moral pengalaman ini adalah, selain fakta bahwa I'm not great dealing with little kids, mungkin model tontonan yang dapat diserap dan dinikmati anak-anak zaman sekarang memang sudah bergeser kali ya. Jadi yang mellow dan emosional dan nggak ada ceria-cerianya acan macam A Monster Calls ini mungkin cocoknya buat yang udah gedean.
Anyway, A Monster Calls buat gw seperti ingin membuat gambaran menghadapi situasi yang rumit dan berat dari sudut pandang "anak". Di sebuah kabupaten di Inggris (nggak gitu juga sih tapi ya rumah di sebelah tanah lapang nggak mungkin di kota dong), hidup anak cowok usia praremaja bernama Conor O'Malley (Lewis MacDougall) memang sedang malang-malangnya. Orang tuanya bercerai, bapaknya (Toby Kebbell) sudah punya keluarga baru di Amerika, ibunya (Felicity Jones) sedang berjuang lawan kanker lewat kemoterapi, dan dia nggak suka sama neneknya (Sigourney Weaver) yang galak dan suka ngatur. Ditambah lagi di sekolah Conor sering diintimidasi dan dipukuli teman sekelas yang badannya lebih besar. Situasi menuntutnya untuk dewasa lebih cepat, bahkan ia more or less merawat ibunya yang lemah tubuh. Suatu malam, Conor didatangi oleh monster pohon (Liam Neeson) yang hendak memberi tiga cerita kepadanya, dengan balasan Conor harus membuat cerita keempat yang isinya kejujuran.
Apakah monster pohon itu nyata atau tidak itu besides the point. Yang pasti, kedatangan makhluk imajinatif bukan berarti membuat Conor punya penghiburan. Cerita-cerita yang dituturkan si monster justru merupakan cerita-cerita yang selalu berujung tragedi. Dan berkaitan dengan itu, Conor juga terlihat semakin terpukul dengan keadaannya, apalagi kondisi sang ibu, sekeras apa pun berusaha terlihat sehat, tetap semakin memburuk. Dampaknya, Conor makin bertingkah dan membuat orang-orang di sekitarnya semakin tidak mengerti apa sebenarnya yang ia mau. Well, penonton juga mungkin bertanya-tanya sih, dan memang sepertinya itulah yang dijadikan plotnya.
Bagaimana imajinasi seorang anak menjadi "pelarian" dari situasi di kehidupan nyata yang berat banyak mengingatkan gw pada beberapa film, misalnya
Where the Wild Things Are (2009), atau mungkin yang paling dekat sama konsep A Monster Calls adalah
Pan's Labyrinth (2007)--juga karena sama-sama melibatkan rumah produksi Spanyol =D. Nggak terlalu baru, tetapi buat gw premis ini masih sama-sama menarik sih, apalagi A Monster Calls lebih banyak memasukkan unsur kekinian. Gw cukup bisa dengan mudah masuk dalam aliran cerita film ini, baik tentang deskripsi Conor yang masih di antara anak-anak dan dewasa, maupun keberadaan si monster pohon beserta cerita-ceritanya yang divisualisasikan dengan cantik lewat animasi dan efek visual keren. Penggambaran tentang apa yang dirasakan dan diinginkan oleh Conor pun menurut gw bisa tersampaikan dengan baik dan bisa dipahami.
Jadi, dengan penceritaan serta persembahan visual demikian, secara keseluruhan film ini sudah menjalankan fungsinya untuk bercerita. Namun, seperti gw singgung di awal, gw merasa atmosfer film ini kurang bisa menarik perhatian dan hati gw lebih dari itu. Film ini sejak awal (amat) sangat di-setting untuk jadi mengharukan--coba cek lagi gambaran situasi Conor di awal cerita, dan jadi nggak mengejutkan lagi ketika filmnya juga berakhir dengan cara demikian. Sedikit keceriaan muncul beberapa kali saat muncul si monster pohon, tetapi itu ya sedikit sekali. Paham sih, baik karena ceritanya memang bukan haha-hihi, maupun karena pembawaan yang dipakai pembuat filmnya memang tidak cerah dari sononya. Cuma, somehow, gw tidak ikut terbawa pada sisi itunya, gw mungkin hanya sampai pada sebatas prihatin daripada empati--atau alasannya sesederhana gw punya hati yang lebih beku dari french fries Golden Farm =P.
Akan tetapi, gw nggak akan menampik bahwa A Monster Calls adalah sebuah film yang disajikan dengan baik dari banyak segi. Penuturannya, visualnya, akting para pemainnya, musiknya, bagian-bagian ini layak dapat jempol. Namun, ya itu tadi, filmnya mungkin tidak berbentuk complete entertainment yang bisa bikin tertawa sampai menangis, karena lebih cenderung diarahkan untuk menangis doang =D. And that's fine, gw yakin banyak orang akan terpuaskan dengan sajian yang demikian. Tapi, kalau buat gw, jadi kurang asyik dan kurang meresap sepenuhnya aja.
My score:
7/10
ADS HERE !!!