Fantastic Beasts and Where to Find Them(2016 - Warner Bros.)
Directed by David YatesWritten by J.K. RowlingProduced by David Heyman, J.K. Rowling, Steve Kloves, Lionel WigramCast: Eddie Redmayne, Katherine Waterston, Dan Fogler, Colin Farrell, Ezra Miller, Alison Sudol, Samantha Morton, Jon Voight, Ron Perlman, Carmen Ejogo, Josh Cowdery, Ronan Raftery, Faith Wood-BlagroveGw merasa tak pantas menyandang gelar Potterhead karena gw memang nggak termasuk fan berat seri Harry Potter--gw fan aja, nggak pake berat *sembunyikan timbangan*. Tapi, memang, koleksi buku Harry Potter gw termasuk komplet, dan itu termasuk buku "pelengkap" Quidditch through the Ages dan Fantastic Beasts and Where to Find Them, dua buku yang sebenarnya adalah buku teks para siswa sekolah sihir Hogwarts di cerita Harry Potter, ya jadi kedua buku ini adalah cerita dalam cerita. Ketika dikabarkan bahwa Fantastic Beasts hendak diangkat jadi film sebagai spin-off Harry Potter, gw nggak excited-excited amat, tapi masih bisa terima juga. Berhubung buku Fantastic Beasts itu bukan cerita naratif--emang bener-bener kayak buku pintar atau RPUL, filmnya bisa secara bebas menyusun cerita baru seputar buku itu. Yang bikin cukup exciting, film Fantastic Beasts and Where to Find Them benar-benar menampilkan hal baru dari dunia rekaan J.K. Rowling tersebut: masa lampau, Amerika Serikat, dan tokoh-tokohnya yang lebih mature.
Tahun 1926, Newt Scamander (Eddie Redmayne), penyihir pria (wizard) dari Kementrian Sihir Inggris yang sedang dalam proses pembuatan buku tentang hewan-hewan gaib, tiba di New York, Amerika Serikat untuk menemukan hewan langka yang ada di sana. Ia datang saat situasi di sana sebenarnya sedang dalam ketegangan, karena muncul lagi gerakan ekstremis anti-penyihir oleh orang-orang biasa alias Muggle atau No-Maj kalau di Amerika. Belum lagi, beberapa kali terdapat kehancuran misterius oleh makhluk tak kasatmata, yang dicurigai sebagai aksi sihir. Tujuan sederhana Newt juga harus terhalangi ketika ia tiba-tiba ditangkap oleh seorang penyhihir wanita (witch) Tina Goldstein (Katherine Waterston) karena dianggap membawa makhluk gaib tanpa izin di antara No-Maj. Sementara itu, beberapa makhluk gaib bawaan Newt kabur setelah kopor ajaibnya tertukar dengan kopor seorang No-Maj veteran perang yang polos, Jacob Kowalski (Dan Fogler). Newt kini harus menangkap kembali hewan-hewannya yang kabur, sementara keberadaan masyarakat sihir semakin terancam akan terekspos kepada para No-Maj di New York.
Bila tujuannya adalah mengeksplorasi lebih luas tentang dunia sihir, film Fantastic Beasts ini telah berhasil melakukannya. Dengan latar tempat dan waktu yang jauh sebelum dimulainya kisah Harry Potter--beda hampir seabad, ada sebuah kesegaran yang ditampilkan di film ini, meskipun tetap masih terasa terkoneksi bagi yang familier dengan seri film dan terutama buku Harry Potter. Mantra, tongkat sihir, sistem pemerintahan,
house-elves, masalah dunia penyihir dan non-penyihir, yang ditampilkan dalam konteks fantasi bukannya horor. Elemen yang juga menarik di seri Harry Potter kini juga dikembangkan lebih jauh, yaitu bagaimana dunia sihir-menyihir berdampingan dengan peradaban modern di sekitarnya, kali ini di masa keemasan Amerika tahun 1920-an berjulukan Roaring Twenties (kayak
The Great Gatsby gitu). Dan, tentu saja, berkaitan dengan judulnya, hewan-hewan gaib yang ada di film ini juga cukup mengesankan, baik dari desain maupun tingkahnya, dan ditampilkan semenghibur mungkin. Plot besarnya sebenarnya juga mirip dengan seri Harry Potter, tentang bangkitnya kekuatan sihir gelap yang mengguncang dunia persihiran. Namun, mungkin karena karakternya di sini lebih dewasa, metafora politik dan sosialnya juga lebih kelihatan, dari soal identitas minoritas hingga penolakan dari sekelompok garis keras yang ingin memusnahkan semua penyihir karena dianggap berbeda dan berbahaya.
Kesegaran juga sebenarnya hendak ditunjukkan lewat karakter, serta casting para pemainnya yang sebagian besar bukan big stars. Tetapi, buat gw justru di sini letak yang kurang sreg di gw. Perkenalan karakter-karakter di film ini terlalu subtle sehingga tidak langsung connect, bahkan si Newt yang dimainkan Redmayne yang sekalipun gw tahu dia aktor bagus, gw nggak bisa nangkep dia itu sebenarnya posisinya di mana, sifatnya seperti apa. Saat seharusnya gw berpihak dan bersimpati pada dia, bahwa barang dan hewan-hewan kesayangannya direbut dari dia, gw malah cuma bisa mikir "salah sendiri nggak bisa jaga barang", saking gw nggak tahu maunya si Newt itu sebenarnya apa. Hal yang sama gw rasakan juga kepada tokoh Tina, yang seperti kurang menonjol dari yang seharusnya, padahal harusnya dia bisa jadi sosok cool dan heroic yang sedang ingin membuktikan kembali nilai dirinya. Kalau bicara likable, justru gw lebih mudah tertuju pada Kowalski dan adik Tina, Queenie Goldstein (Alison Sudol), yang memang lebih berwarna dan menarik. Atau juga penggerak anti-sihir, Barebone (Samantha Morton), dan putra angkatnya yang misterius, Credence (Ezra Miller), yang lebih clear posisi dan purpose-nya.
Lalu gw teringat bahwa berhubung skenario film ini langsung ditulis J.K. Rowling, ada sebuah pola mirip yang gw temukan seperti saat baca buku Harry Potter: tokoh pendukungnya lebih menarik daripada si Harry sendiri. I mean, seistimewa-istimewanya Harry, menurut gw dia itu anak yang plin-plan, kerjaannya pengsan mulu, makanya Ron dan Hermione bahkan Draco karakternya lebih interesting. Film-film Harry Potter lebih beruntung karena yang nonton sebagian udah kenal lebih dalam tokoh-tokohnya lewat buku, jadi apa yang diperagakan di film mungkin lebih understandable walau nggak terlalu komprehensif dijelaskan. Sementara di film Fantastic Beasts yang semuanya baru, buat gw agak kurang pas juga kalau diperlakukan seperti buku, dengan penggambaran karater-karakter serta situasi ceritanya yang terlalu perlahan dan...err...halaman demi halaman. Ini makin gw rasakan jelas dengan adanya "teknik" revelation di belakang sehingga baru jelas gambaran karakternya supaya menimbulkan efek kejut, tapi rasanya buat gw nggak sekejut itu sih, dan bahkan petunjuk-petunjuk ke arah sananya juga hampir nggak kelihatan saking "subtle"-nya sehingga malah terlihat "patah" ketimbang mengejutkan--terutama bagian buntutnya yang benar-benar gw nggak nangkep "lah gimana dia bisa tahu si anu itu begitu?".
Dan, salah satu hal juga yang bikin gw tidak
enjoy film ini dari yang seharusnya adalah seperti terlalu banyak situasi yang dijejalkan untuk bisa muat dalam ceritanya, dan rasanya emang seperti dijejalkan bukannya terangkum dengan enak. Oh, nuansa gambar yang mendung sendu, di era yang seharusnya ingar bingar hip-hip hura-hura uwuwu, juga kayaknya jadi faktor yang bikin gw merasa film ini agak merepresi potensi
fun dan
magical-nya. Tetapi ya, kalau dilihat dari jejak rekam si sutradaranya, kayaknya emang orangnya lebih cenderung begitu. Gw menyimpulkan bahwa
Harry Potter and the Order of the Phoenix adalah film Harry Potter garapan David Yates paling berwarna, karena makin ke jilid akhir--
Half-Blood Prince dan
Deathly Hallows yang juga dibikin Yates--makin monokromatis dan
gloomy. Eh, pas bikin
The Legend of Tarzan baru lalu juga begitu gayanya, walau filmnya sendiri sedikit agak lebih cerah sih karena
setting-nya tropis *apalah*.
Terlepas dari itu, secara produksi Fantastic Beasts ini bukan produk yang gagal amatlah. Desain produksi dan kostum yang megah (meskipun kurang warna) bisa bikin betah untuk menyaksikan film ini, apalagi adegan-adegan klimaksnya yang full-action dalam skala grand juga bisa dipersembahkan dengan seru--satu lagi karakteristik film-filmnya Yates. Waktu nonton dengan gimmick 3D ataupun IMAX 3D juga ternyata cukup menyenangkan. Buat gw, walau masih merasa kurang terpuaskan, secara umum film ini masih punya daya tarik waktu ditonton, bahkan gw nggak keberatan kalau film ini berlanjut dalam sekuel-sekuelnya, mungkin dalam setting sihir di lokasi dan peradaban berbeda--dan mungkin dengan style visual dan penuturan yang lebih lively. Bisa kali Alfonso Cuarón di-calling lagi =\.
My score:
6,5/10