家族はつらいよ (Kazoku wa Tsurai yo)What a Wonderful Family!(2016 - Shochiku)
Directed by Yoji YamadaScreenplay by Yoji Yamada, Emiko HiramatsuProduced by Hiroshi FukasawaCast: Isao Hashizume, Kazuko Yoshiyuki, Yui Natsukawa, Masahiko Nishimura, Tomoko Nakajima, Shozo Hayashiya, Satoshi Tsumabuki, Yu Aoi, Jun Fubuki, Nenji Kobayashi, Takanosuke Nakamura, Ayumu MaruyamaSama seperti gelaran Japanese Film Festival di Jakarta tahun lalu, gw tahun ini hanya sempat untuk menyaksikan satu film di gelaran tahun ini--bukannya sok sibuk tapi ya gimana dong *sisiran*. Kali ini entah kenapa gw memilih sebuah komedi ensemble berjudul Kazoku wa Tsurai yo--kira-kira artinya "keluarga itu menyulitkan" tetapi judul versi Inggrisnya dibuat sarkastik dengan What a Wonderful Family! Ketertarikan gw mungkin simply karena muka-muka pemainnya sering lihat di dorama-dorama dan nama sutradaranya kayak kenal (ternyata yang bikin The Twilight Samurai (2002)). Tetapi, belakangan gw lihat sinopsisnya, yang seperti full circle buat gw. Gimana enggak, pusat cerita film ini adalah soal seorang nenek yang meminta cerai suaminya setelah anak-anaknya udah mapan semua. Like, oh my God, perceraian 'kan bahasan kelompok presentasi gw pas mata kuliah masyarakat Jepang dulu XD. Ternyata, film ini seperti teks bacaan yang diwujudkan jadi nyata karena gambarannya persis dengan yang gw bayangkan saat mendalami topik ini dulu.
Tak seperti perceraian di banyak negara, apalagi di Indonesia, perceraian di Jepang itu terbilang sederhana dan nggak ribet prosesnya. Cerai itu ya tinggal isi formulir, tanda tangan oleh kedua belah pihak, kirim ke kantor catatan sipil, selesai. Perjalanan emosi menuju pengisian formulir itu kita emang nggak tahu ya, tetapi data menunjukkan perceraian di sana mostly caranya "damai dan tenteram", segala macam perdebatannya sudah diselesaikan sebelum isi dan tanda tangan formulir. Pokoknya kedua belah pihak sama-sama sepakat untuk bercerai, jarang ada drama-drama panggil pengacara atau disidang di pengadilan negara/agama atau pembagian harta gono-gini. Memang katanya masih ada semacam cap konotatif "batsu ichi/satu tanda silang" buat orang (biasanya perempuan) yang pernah cerai--karena di catatan sipil literally akan ada tanda silang dalam status pernikahannya, tetapi ya tetep aja bikin gw amazed bahwa mereka cerai aja rapih banget, serapih bikin bungkus kerupuk keping per keping dan serapih penonton konser rock yang setia nggak pindah posisi menikmati musik dengan gerakan tangan seragam.
What a Wonderful Family! kisahkan tiga generasi keluarga Hirata yang tinggal di satu atap. Ada Kakek (Kazuko Yoshiyuki) dan Nenek (Isao Hashizume) yang telah bersama selama 50 tahun. Tinggal bersama mereka adalah sang anak tertua Konosuke (Masahiko Nishimura) dan istrinya Fumie (Yui Natsukawa) dan dua putra kecil mereka. Bersama mereka tinggal juga si anak ketiga, Shota (Satoshi Tsumabuki) yang bekerja sebagai tukang setem piano (yup), dan berencana menikah dengan kekasihnya yang seorang perawat, Noriko (Yu Aoi). Si anak kedua, Shigeko (Tomoko Nakajima) tinggal di rumah sendiri bersama suaminya, Taizo (Shozo Hayashiya), tetapi Shigeko sering juga pulang ke rumah orang tua karena berulang kali cekcok masalah sepele sama suaminya. Nggak ada angin nggak ada hujan (or so it seems), pada hari ulang tahunnya si Nenek menyodorkan formulir cerai yang sudah diisi ke si Kakek. Syok, si Kakek malah marah-marah sendiri, dan ketika anak-anak mereka tahu, mereka lalu memarah-marahi si Kakek dan Nenek. Lagian ngapain udah umur segitu cerai, ya 'kan? Meski sudah disibukkan dengan persoalan masing-masing, anggota keluarga Hirata harus mengambil waktu untuk memecahkan masalah dari orang tua mereka ini, termasuk menyelidiki kenapa si Nenek mau minta cerai.
What a Wonderful Family! bisa dibilang adalah penggambaran yang straightforward dan somehow komikal tentang beberapa kasus perceraian yang semacam jadi fenomena di negara-negara maju, yaitu cerai pas udah lansia. Namun entah kenapa, film ini menggambarkannya dengan cara yang brilian. Yang gw lihat dari film ini, penyebab utama si nenek Hirata meminta cerai dari si kakek Hirata adalah kebiasaan si kakek yang merasa banget dia adalah "laki-laki", "kepala", dan "pencari nafkah (meski sudah pensiun)" dalam keluarga, dan ini adalah--secara textbook--bagian dari tradisi lama di Jepang yang memang patriakal. Kakek dan Nenek Hirata adalah produk dari tradisi terdahulu, di mana suami adalah kepala, istri harus melayani. Mau suaminya sibuk kerja di luar dan minum di bar (bahkan mungkin as far as punya "temen buat anget-anget" di luar =P), saat tiba di rumah si istri harus tetap lakukan hal-hal semacam nyiapin air panas buat mandi, ngerapihin baju, dan iya-iyain aja si suami ngomong apa juga. Bisa ditebak, dengan sifat si Kakek yang kayak gitu, he took his wife's loyalty for granted, ulang tahun istrinya aja nggak inget, apalagi bilang terima kasih, karena yang sepertinya dia tahu adalah fungsi istri hanyalah meng-cater kebutuhan dia di rumah. Sekalinya dia tanya istrinya mau diberi apa darinya sebagai hadiah ultah, yang didapat langsung formulir cerai. Tanpa berantem, tanpa ribut-ribut, bahkan si Nenek menyerahkannya dengan kata-kata dan sikap yang masih sangat sopan dan hormat seakan menyatakan "kalau mau bagus kalau nggak yo wis."
Sepertinya setiap karakter dirancang untuk mewakili berbagai pemandangan sosial menarik di Jepang, tetapi dipandang dari sisi komedinya, agak seperti satir, tapi kayaknya nggak terkesan ofensif juga. Rumah tangga si Konosuke dan Fumie sebenarnya agak mirip dengan si Kakek dan Nenek, bahkan sepanjang film Fumie terlihat tidak pernah keluar rumah dan selalu pakai celemek--kayak nyokapnya Nobita gitu, tetapi dia termasuk dalam generasi yang berani mendebat suaminya jika ada yang dirasanya tidak benar. Rumah tangga Shigeko dan Taizo lebih ekstrem lagi, mencerminkan contoh karier istri (sebagai konsultan pajak) yang lebih cemerlang dari si suami yang, well, nggak kerja. Gw sendiri agak ragu menempatkan Shota dan Noriko itu mewakili apa, kayaknya sih berfungsi sebagai angle anak muda sekarang, yang tumbuh di saat perceraian itu marak dan seakan hal lumrah, tetapi masih tetap ingin memulai rumah tangga mereka sendiri.
Gw kayaknya bisa berpanjang-panjang membahas konteks sosial budaya yang terpampang dengan limpahnya di film ini, mungkin bisa jadi beberapa topik-topik skripsi (silahkan buat anak-anak studi Jepang yang lagi bingung sama skripsinya, hehehe). Namun, yang pasti film ini tetap bisa disajikan sebagai sebuah film yang bertutur enak dan menghibur. Karakter yang banyak dengan persoalan masing-masing nggak membuat film ini jadi keblenger dengan konten. Dan, sekalipun perkenalan karakternya nggak makan waktu banyak, film ini sanggup membuat gw bisa simpati sama mereka. Iya, termasuk si Kakek. Gampang aja dilihat bahwa si Kakek emang egois, tetapi lagi-lagi harus dilihat bahwa dia merasa sudah dan sedang melakukan perannya sebagai "laki-laki" di keluarga sebagaimana dituntut dari lingkungannya (traditionally). Lalu si Nenek juga bisa dipahami bahwa pada titik ini, ia sudah tuntas dalam "fungsi" sebagai "istri", mau berapa puluh tahun lagi dia harus mungutin pakaian kotor suami yang digeletakin sembarangan atau dianggap nggak bisa apa-apa selain jaga rumah, toh anak-anak udah mandiri semua. Kini saatnya si Nenek menjalani hidup sebagaimana dia mau--dia bercita-cita jadi novelis, yang selama ini tertunda karena harus jadi "istri".
Permasalahan yang disajikan sebenarnya cukup serius dan nyata, tetapi berhasil disajikan dengan ringan dan tetap mengena. Kejenakaannya nggak menutupi kehangatan dan intensitas emosi yang dilontarkan oleh cerita dan para pemainnya. Dan mungkin emang dasar di-treat sebagai komedi, saat situasinya serius pun film ini masih bisa menggelakkan tawa dengan perkataan dan tindakan karakternya. Buat gw film ini hit almost all the right notes, dari ide dan penulisan cerita, pengarahan, akting yang kompak, musiknya (Joe Hisaishi!!), bahkan pengambilan gambar yang memakai film seluloid (love it) sehingga tampak agak vintage. Sebuah kisah yang tampilannya sehari-hari banget tapi bisa bikin gw engaged sepanjang 100-an menit durasinya.
Gw juga suka bahwa film ini sangat komunikatif, bukan tipe film Jepang yang berorientasi Eropah dengan banyak gambar diam dan kosong dan batas paling dekat menyorot aktornya hanyalah medium shot (serius, cek aja). Film ini bahkan terbilang generous dalam menangkap ekspresi wajah aktor-aktornya serta playful dalam editing-nya, sehingga bikin gw makin senang dan nyaman nontonnya. Hanya di beberapa titik yang menurut gw agak menghalangi jalan film ini sebagai karya sempurna, yaitu tokoh Noriko yang terlampau angelic dan masih ada beberapa adegan yang terasa sangat staged. Namun, selebihnya ini adalah salah satu film Jepang kontemporer yang paling mengesankan buat gw sejauh ini, dengan segala hiburan, keterampilan, dan potret sosial budaya yang dimuatnya. Baguss!
My score:
8,5/10