Hacksaw Ridge(2016 - IM Global/AI Film Productions/Cross Creek Pictures/Lionsgate)
Directed by Mel GibsonScreenplay by Robert Schenkkan, Andrew KnightProduced by David Permut, Bill Mechanic, Brian Oliver, William D. Johnson, Bruce Davey, Paul Currie, Terry BenedictCast: Andrew Garfield, Luke Bracey, Hugo Weaving, Sam Worthington, Vince Vaughn, Teresa Palmer, Rachel Griffiths
Ada beberapa elemen yang bagi gw membuat
Hacksaw Ridge ini sebuah proyek yang menarik.
Sure, ceritanya yang diambil dari kisah nyata memang sudah sangat menarik, tentang seorang sukarelawan militer Amerika Serikat di Perang Dunia II yang ke medan perang tanpa membawa atau menembakkan senjata tapi berhasil tetap hidup dan menyelamatkan puluhan rekannya,
which was basically a miracle. Tetapi, film ini juga didasarkan pada karakter yang sangat religius--dalam hal ini si Desmond Doss adalah penganut Kristen Adven, sehingga film ini bisa jadi bahan potensial sebuah "film rohani" yang kebetulan belakangan sedang naik-naiknya di Amerika. Nah, menariknya, film ini berada di tangan Mel Gibson, yang bukan hanya seorang bintang film terkenal kemudian juga sukses jadi sutradara film-film keren (Braveheart,
Apocalypto), tetapi juga orang yang membuat film
The Passion of the Christ, yang
straightly religious but undoubtedly gory, sebagai film bertema religi terlaris sepanjang masa. Berdasarkan resumenya itu, kita nggak bisa berekspektasi bahwa Hacksaw Ridge akan jadi "film rohani" yang malu-malu menunjukkan "hal-hal nyata duniawi", apalagi ini film perang yang akan aneh kalau sisi
violence-nya disembunyikan.
Thus, film ini pun dirancang lebih aksesibel kepada penonton lebih luas, yah mungkin segaris sama "saudaranya",
Unbroken.
Tumbuh besar di kota kecil dengan beberapa trauma tak membuat Desmond Doss (Andrew Garfield) luntur akan imannya, khususnya pada perintah "Jangan membunuh", yang menurut ibunya (Rachel Griffiths) adalah dosa yang paling dibenci Tuhan. Ketika Amerika terlibat Perang Dunia II dan banyak pemuda mengajukan diri untuk jadi tentara, Desmond juga terdorong untuk melakukan hal yang sama, sekalipun ditentang oleh ayahnya (Hugo Weaving) yang juga veteran perang yang kini pemabuk dan ringan tangan--untuk memukul bukan menolong. Tetapi, Desmond tidak berniat untuk mengangkat senjata dan membunuh, melainkan menolong orang sebagai paramedis di medan perang. Prinsip yang ia pegang ini membawanya pada masalah ketika di kamp pelatihan tentara, Desmond lulus di semua pelatihan kecuali menembak karena nggak mau pegang senjata--yo aneh tho tentara nggak latihan senjata. Namun, Desmond lewat pertolongan yang unexpected-but-not-really, Desmond akhirnya bisa memenuhi tekadnya, maju ke medan perang membela negara tanpa mempraktikkan kekerasan itu sendiri, dan ia bersikukuh melakukannya walau hanya sendiri.
Hacksaw Ridge muncul sebagai film sebagaimana diharapkan. Ini adalah satu lagi karya apik dari Gibson, yang menggali emosi mendalam dan menyajikan tontonan yang spektakuler sekaligus ironis. Film ini nggak ragu dalam menunjukkan dahsyatnya perang, walaupun adegan perangnya hanya di satu lokasi pertempuran (selama berhari-hari sih) di salah satu pulau di Okinawa, Jepang. Yah, selain tembak dan ledak, luka tembak dan potongan tubuh juga tak segan ditunjukkan. Tetapi, ini sesuai dengan point film ini sejak awal, bahwa sosok dan prinsip Desmond--setuju ataupun tidak dengan motivasinya--menjadi sesuatu yang luar biasa bertolak belakang dengan keadaan sekitarnya. Tujuannya hanyalah menyelamatkan rekan-rekannya yang terluka, dan ketika jumlah yang harus ditolong itu secara logika melebihi kemampuannya, dia tetap melakukannya. Paradoks ini juga dipakai saat menceritakan Desmond masih di kamp pelatihan militer, ketika dia dihadapkan pada tuntutan untuk membawa senjata sekalipun hanya untuk syarat kelulusan.
What I find interesting, di antara dua situasi itu, sikap Desmond digambarkan tetap sama, sementara orang-orang sekitarnya malah banyak berubah: awalnya menggebu-gebu ingin menghajar musuh, pas di medan perang malah frustrasi berjamaah karena medan perang ternyata bukanlah ajang gagah-gagahan seperti bayangan mereka--apalagi mengingat sebagian besar mereka ini semacam tentara dadakan darurat perang, bukan disiapkan bertahun-tahun seperti militer seharusnya. Bahwa ternyata Desmond ini sosok betulan ada dan kisahnya lebih kurang seperti yang digambarkan di film ini emang bikin tercengang ya, dan gw rasa film ini bisa merepresentasikannya dengan cukup baik. Dan itu lengkap dengan pesan bahwa perang cuma bawa derita termasuk yang bertempur langsung maupun yang sudah pulang dari sana. Dan, mudah juga untuk berpihak sama Desmond, yang kehidupannya nggak sempurna tapi nggak menjadikan itu alasan untuk jadi orang yang berantakan, malah kemudian punya kontribusi besar bagi sesamanya.
Namun, sejauh apa pun gw admire film ini, gw masih merasakan ada yang loose. Bukan dari segi cerita atau isinya, apalagi akting dan nilai produksinya yang keren, melainkan hal yang teknis saja, yaitu filmnya bisa di-trim lebih rapih lagi. Buat gw sejam pertama film ini banyak menampilkan hal-hal yang terlalu mengulur waktu, terutama "perkenalan" rekan sekompinya Desmond yang yaampun lama benerrr, apalagi itu jadi kebaca banget sebagai suatu usaha membangun simpati dan memberi petunjuk bahwa di bagian cerita selanjutnya pasti di antara mereka ada yang kenapa-kenapa. Sejam berikutnya mungkin lebih "menghibur" (sebuah penggambaran yang aneh tapi ya begitulah), tetapi gw juga melihat adegan pertempurannya agak random gitu presentasinya--siapa di mana dan udah sampai mana. Yah, kalau mau dimaklumi, mungkin itu gambaran medan perang yang dirasakan Desmond, random, kacau, tetapi fokusnya tetap pada menolong yang luka.
Nevertheless, sebagai sebuah kisah nyata yang mengandung inspirasi, Hacksaw Ridge tetap berhasil di berbagai lini. Pembangunan karakter utama serta tujuan ceritanya sudah kuat sejak awal, dan pada saat-saat yang diperlukan mampu menampilkan humor yang tak kelewat batas dan menggugah emosi tanpa harus berlaku cengeng (
I'm lookin' at ya Fury -_-). Bahkan bisa dibilang ini tetap jadi film yang sebenarnya bisa dinikmati sebagai sebuah film sekalipun tanpa embel-embel "kisah nyata" atau "inspiratif". Oh, gw udah bilang akting pemainnya bagus-bagus? Sam Worthington sih masih gitu-gitu aja ya, cuma film ini jadi bisa begitu efektif juga karena performa Andrew Garfield dan Hugo Weaving yang luar biasa. Dan
ultimately, senang juga bahwa oom Gibson, sekalipun agak terbuang di Hollywood karena kehidupan pribadinya--makanya film ini diproduksi di Australia, tetap mampu menunjukkan diri sebagai pembuat film berkualitas dan punya cita rasa.
My score:
7/10