Assassin's Creed(2016 - 20th Century Fox)
Directed by Justin KurzelScreenplay by Michael Lesslie, Adam Cooper, Bill CollageBased on the video game series by UbisoftProduced by Jean-Julien Baronnet, Gérard Guillemot, Frank Marshall, Patrick Crowley, Michael Fassbender, Conor McCaughan, Arnon MilchanCast: Michael Fassbender, Marion Cotillard, Jeremy Irons, Brendan Gleeson, Charlotte Rampling, Michael K. Williams, Ariane Labed, Denis Ménochet, Khalid Abdalla, Carlos Bardem, Callum Turner, Hovik Keuchkerian, Matias Varela, Essie DavisTak jarang kita menemukan sebuah proyek film yang
exciting dengan bintang dan kru berkelas sehingga berpikir "
What possibly could go wrong?". Tetapi, bahkan orang-orang yang sangat murah, eh mudah terhibur seperti gw—yang menganggap
Speed Racer,
Mirror Mirror,
Jupiter Ascending, dan
The Last Airbender itu nggak jelek, bisa saja keliru. Sekarang,
what possibly could go wrong dengan sutradara yang filmnya pernah masuk Cannes (Macbeth versi 2015) serta deretan bintang elit langganan festival film internasional ketika menggarap adaptasi salah satu
video game paling terkenal saat ini,
Assassin's Creed? Jawabannya:
it can go wrong.
Gw bukan termasuk gamer dan judul Assassin's Creed hanya gw pernah dengar saja, jadi basically pengetahuan gw nol soal franchise ini. Waktu menyaksikan filmnya, gw sebenarnya cukup tertarik dengan premis ceritanya. Sebuah fiksionalisasi sejarah tentang perseteruan kaum yang disebut Templars dengan Assassins di zaman pertengahan Eropa. Diceritakan Assassins melindungi sebuah artefak misterius yang disebut Apple of Eden, berisi informasi tentang kehendak bebas (free will) manusia, yang juga ingin direbut Templars. Perseteruan ini berlangsung hingga masa modern ke keturunan-keturunannya. Nah, adalah Callum Lynch (Michael Fassbender), seorang kriminal yang diboyong oleh ilmuwan Dr. Sofia Rikkin (Marion Cotillard) untuk sebuah eksperimen organisasi Abstergo. Menggunakan peta DNA dan mesin virtual reality bernama Animus, Cal disuruh mengalami kehidupan leluhurnya, Aguilar de Nerha (Fassbender juga), seorang Assassin di Spanyol abad ke-15, untuk menemukan Apple of Eden. Cal sebenarnya enggan, apalagi ia baru mengetahui bahwa statusnya sebagai keturunan Assassin-lah yang membuat kehidupannya berantakan sejak kecil, lah ini lagi musti nurutin keinginan orang pasang mesin di badan yang nyambung ke otak dan sarafnya. Namun, Abstergo tak kehabisan cara agar Cal menuruti kemauan mereka.
Seandainya cerita film ini se-straightforward itu, gw mungkin masih akan tertarik. Akan tetapi, film ini seperti menyusahkan diri sendiri dengan bertutur sok misterius dan sok pelan-pelan seolah-olah penuh misteri, padahal nggak. Motivasi Cal atau Abstergo atau Sofia tidak pernah diberikan utuh sampai hampir filmnya habis, padahal kalau udah diberesin di awal, paling nggak salah satunya aja, 'kan tinggal ikutin aja proses selanjutnya. Gw bayangkan ceritanya bisa saja begini: "Cal, lo gw minta jadi si Aguilar dan lihat di mana dia sembunyiin Apple of Eden-nya, imbalannya catatan kriminal lo bersih," terus baru deh konfliknya antara si Cal fascinated sama teknologi dan visualisasi kehidupan abad lampau, tetapi nggak kuat menjalani proses ini karena dipaksa, nggak etis, atau mesinnya punya efek samping mematikan. Atau apa kek. Bahwa ternyata filmnya berdurasi hampir dua jam tapi plotnya kalau disimpulkan cuma cariin Apple of Eden yang kemudian digunakan untuk hal-hal yang nggak baik, ngapain juga mesti selama itu? Sepertinya sih film ini kesulitan mencari reason yang tepat untuk menunjukkan aksi abad pertengahan dan aksi zaman kontemporer seperti game-nya, tetapi jadinya sekenanya aja, kurang imajinatif, dan kurang makna.
Hal yang lebih mengesalkan lagi adalah bagaimana film ini dikemas. Ooooh my God...mau dibilang film action, sci-fi, atau thriller pun film ini kayak nggak nyampe di sisi manapun. Problem pertama gw adalah lajunya yang kurang greget, semua dilambat-lambatin, emosinya pun (kalau ternyata harusnya memang ada) tidak keluar. Ingat gw bilang tadi, film ini dibintangi pemain langganan festival bergengsi, berharap dramanya bisa nggigit dong, tetapi yang terjadi mereka nggak bisa berbuat apa-apa bila skenario, atau pengarahan, atau mungkin editing-nya nggak memberi mereka kesempatan untuk at least live up to their reputations. Soal production design atau visual effects atau action-nya, gw yakin film ini oke di sana. Tapi justru si yang bikin film yang kayaknya nggak yakin. Saking nggak yakinnya, segala sesuatu di film ini harus disorot dalam cahaya temaram, atau ketutup asap, atau ketutup debu, atau ketutup backlight, baik asli ataupun bikinan digital, buram aja semua. Gila ye, misalkan setiap adegan panorama kota, yakali satu kota bakar sampah bareng-bareng sampe berasap semua gitu. Aneh-aneh aja deh. Apa sih yang ditutupi? Apa sih yang mau dicapai dari segala siluet dan asap dan debu itu? Estetika? Dikira wayang kulit? Jika memang itu sudah visi atau style sutradaranya, gw putuskan nggak akan mau nonton filmnya dia lagi. It's even worse than J.J. Abrams' lens-flares.
Yang bisa gw simpulkan dari hasil akhir film Assassin's Creed ini adalah orang-orang yang terlibat kurang passionate di sini. Setelah sekian dekade berbagai video games dibuat jadi film layar lebar, tim produksi film ini rupanya masih termasuk kelompok yang nggak tahu bagaimana mengangkat video game yang exciting jadi film yang sama exciting-nya, mereka nggak tahu ini materi terkenal yang terlanjur dimiliki ini musti diapain gitu lho. Jadinya kelihatan sekali di mood filmnya secara keseluruhan, maksa, semuanya terlihat murung, nggak ada warna jelas, musiknya terdengar malas, dan apalah adegan-adegan berkelahi di zaman apapun pokoknya harus ada asapnya bagaimana pun caranya. Dodol.
My score: 5/10
ADS HERE !!!