Istirahatlah Kata-KataSolo, Solitude(2016 - KawanKawan Film/Limaenam Films/Yayasan Muara/Partisipasi Indonesia)
Written & Directed by Yosep Anggi NoenProduced by Yosep Anggi Noen, Yulia Evina BharaCast: Gunawan Maryanto, Marissa Anita, Eduwart Boang Manalu, Dhafi Yunan, Melanie Subono, Rukman Rosadi, Joned Suryatmoko, Edwin Setiadi Raharja, Mugiono, Arswendi Nasution,Bekal gw untuk menyaksikan Istirahatlah Kata-Kata terbilang sedikit. Film ini ingin mengangkat sosok Wiji Thukul, penyair yang gw baru dengar namanya hanya beberapa tahun belakangan lewat linimasa media sosial, dan gw juga nggak familier dengan karya-karyanya. Yang gw tahu hanyalah beliau salah satu dari orang-orang yang cukup vokal menentang rezim Orde Baru yang tercermin dalam puisi-puisinya, dan jadi salah satu korban hilang—atau penghilangan, one of many Orde Baru things—sebelum reformasi pecah di tahun 1998. Wiji Thukul pun menjadi salah satu simbol dalam menuntut keadilan kepada negara, sebab keberadaannya serta beberapa orang lain yang senasib belum terungkap bahkan sampai saat ini ketika rezim sudah berganti. Dengan latar demikian, mengangkat sosoknya ke film pasti nggak bisa lepas dari aktivismenya serta situasi Indonesia pada masa itu. Namun, film ini ternyata lebih memilih nggak menunjukkan aktivisme ataupun proses hilangnya dia. Lalu apa dong?
Istirahatlah Kata-Kata langsung diawali di Solo tahun 1996, ketika Sipon (Marissa Anita) dan anak-anaknya kedatangan pria-pria misterius yang menggeledah rumahnya, dan terutama ingin mencari tahu keberadaan suaminya, Wiji Thukul (Gunawan Maryanto). Belakangan diketahui, Thukul masuk "daftar" untuk diciduk oleh aparat negara karena ambil bagian dalam deklarasi pendirian Partai Rakyat Demokratik (PRD), sementara rezim saat itu hanya membolehkan ada tiga partai politik nasional saja—but as we all know dari tiga partai itu selalu dikondisikan partai 2 (Golkar) yang menang sementara 1 (PPP) dan 3 (PDI) hanya peramai aja. Thukul sendiri sebenarnya sudah lebih dahulu menyeberang ke Kalimantan, tepatnya di Pontianak, bersembunyi dan berpindah-pindah inap di tempat kenalan yang nggak kenal-kenal amat, dan memakai berbagai nama samaran.
I can't really describe this film in an instant sentences, karena memang materi cerita dan tuturannya agak beda dari yang biasa gw saksikan. Cerita yang ingin diangkat, dari yang gw tangkap, bukan semata-mata ingin mengedepankan sosok Wiji Thukul. Film ini buat gw adalah deskripsi sebuah masa, khususnya di Indonesia di ujung rezim Orde Baru akhir 1990-an. Film ini seperti memvisualisasikan situasi yang baru gw ngeh setelah ada seorang guru SMA gw menjelaskan, beberapa tahun setelah reformasi. Orde Baru banyak dikenang sebagai masa yang represif: bila ada seseorang yang jadi bagian dalam kelompok atau gerakan yang mempertanyakan atau mengritik pemerintah, ia akan dicari bahkan sampai ke gang-gang terkecil dan tempat-tempat paling terpencil, untuk dibungkam sebelum lakukan aksinya, atau di-"dor". Di film ini gambarannya juga lebih kurang sama, sehingga saat Thukul berada di kampung yang sepi pun, tetap ada rasa unrest. Ya begitulah kira-kira hidup di rezim itu, tampak tenang dan damai di permukaan, tanpa kehebohan dan ribut-ribut, apalagi di Pontianak yang jauh dari pusat pemerintahan, tetapi sebenarnya memenjarakan kebebasan. Nah, selain gambaran tentang suatu masa dengan meminjam tokoh Thukul, film ini juga tak lupa menggambarkan Thukul dalam pergumulan pribadi sebagai pelarian yang terpaksa terpisah dari keluarganya. Menurut gw dalam mengangkat dua hal tadi, film ini termasuk mencapai tujuannya. Dalam bagian-bagian tertentu gw jadi ikut merasakan, entah itu merasa nggak damai di tengah-tengah ketenangan, ataupun waswas akan pengaruh status buron Thukul terhadap keluarga, hingga tiba pada satu titik harus ada pengorbanan.
Well, memang cuma dua hal itu yang bisa gw tangkap secara penuh dari film ini. Filmnya memang sepertinya nggak menceritakan sosok Wiji Thukul secara lebih menyeluruh, tentang latar belakangnya, apa sepak terjangnya dalam melawan rezim yang katanya bangsat itu, dan why. Bagian-bagian itu lebih berupa tulisan dan keterangan media (radio) di awal saja. Akan tetapi, entah kenapa it kinda worked for me. Dalam bayangan gw, film ini seperti bersama-sama dengan gw mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang "pertikaian" Thukul dengan pemerintah kala itu, yang ternyata nggak bisa langsung dijawab sekarang, karena again subjeknya sendiri telanjur dihilangkan entah masih hidup atau tidak, dan yang menghilangkannya pun entah siapa ke mana dan entah mau come clean mengungkapkan atau tidak. Kenapa Thukul masuk daftar pencidukan, apa exactly yang dia perbuat, atau kata-kata apa yang "ditakuti" sampai dicari-cari agen pemerintah sementara kawan-kawan sepaham yang lain—misalnya Martin (Eduwart Boang Manalu) yang "lari" dari Medan ke Pontianak—nggak sampai bersembunyi segitunya, film ini menjawabnya dengan vaguely, mungkin karena memang belum ada yang bisa menjawab pasti. Sehingga, gw pikir film ini cukup bisa jadi perpanjangan sosok Wiji Thukul sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang gw singgung tadi.
Cuma begini, ini adalah pertama kalinya gw menyaksikan full film karya Yosep Anggi Noen, dan jujur gw agak terhalang untuk bisa memahami gaya dan estetika yang ditampilkannya lewat film ini. Gaya pengadeganannya mungkin kelewat arthouse-y buat gw. Gw nggak bilang ini salah ya, ini pribadi aja lho. Gw nggak paham kenapa setiap adegan harus dibuat sepi sesepi-sepinya, mungkin lebih sepi dari yang seharusnya. Gw merasa terganggu dengan pilihan menyorot gambar ke angle satu sementara yang sedang terjadi (misalnya orang yang lagi ngomong or whatever) berada di angle lain, atau banyaknya gambar-gambar statis dan lama menyorot sesuatu yang nothing actually happening, atau yang sangat-sangat bikin heran adalah cara tektokan dialog para karakternya yang kerap kali menunggu giliran berbicara dengan jeda hening panjang sekalipun situasinya nggak menuntut demikian—notabene jenis gaya arthouse yang paling mengesalkan gw =_=. I mean, why? Gw kayaknya ketinggalan sesuatu, mungkin tersimpan simbol-simbol yang gagal gw tangkap karena kurang referensi atau kurang peka, atau mungkin karena nggak biasa aja. Jujur, yang gw rasakan dari gaya ini jadinya hampir seperti nggak ada "spirit" dalam adegan-adegannya, kalau nggak mau disebut kaku dan keong. Bisa jadi filmnya memang nggak berniat mengejar gaya realis—dengan cukup banyak bermain simbol dan permainan makna kata dan blocking—tapi environment-nya justru tampak sebaliknya, I got a bit confused here. Ya mudah-mudahan gaya tersebut ada maksudnya ya, bukan cuma sekadar pengen bikin kesel orang aja.
Yah, kalau gw ditanya apakah film ini "bagus", gw akan bingung jawabnya. Yang pasti, sekalipun gw nggak bisa "menikmati" pembawaannya, secara konten gw nggak masalah. Paling nggak gw bisa menangkap apa yang ingin disampaikan (walau mungkin belum seluruhnya sih, hehe), dari segi penyusunan ceritanya juga termasuk runut dan nggak susah-susah amat untuk dipahami. Oh ya, film ini juga didukung performa akting yang baik—bahkan terlepas dari pilihan gaya pengadeganannya tadi inner emotion-nya masih terpancar—serta desain produksi yang sangat meyakinkan, jadi kalau dipandang masih enak-enak aja. Jika tujuan dibuatnya film ini untuk membangkitkan kembali diskusi tentang ketidakadilan yang dialami Wiji Thukul dan yang lainnya, atau cerminan akan masa yang pernah dilalui bangsa ini dan seharusnya jangan terjadi lagi, dan caranya disampaikan dengan tetap bercerita, menurut gw film ini berhasil.
My score: 7/10