I know. Ngapain gw nonton film beginian. Mana London Love Story pertama itu film yang bikin sakit kepala berkat berbagai kekonyolan sinetron-
ish-nya. Tetapi, kilah gw sih cuma satu: Screenplay Films.
Somehow sejak tahun lalu gw merasa terbeban untuk "mengawal" film-film keluaran rumah produksi yang berawal dari pemasok FTV buat SCTV ini, yang tercatat cukup konsisten mencetak film laris dan bikin dedek-dedek
alay makin rajin ke bioskop dan turut membangkitkan gairah bisnis perfilman nasional tahun-tahun belakangan ini. Kalau gw sih sejak
ILY from 38.000 Ft (2016) tepatnya, ketika mereka membuktikan punya niat luhur memproduksi film-film mereka yang bertarget remaja dengan layak dan "seperti film bioskop" walaupun ceritanya masih seperti "itu".
Well, sempat ada
let down sih di
Promise ketika nilai produksi yang mahal disia-siakan oleh penuturan yang kecentilan. Itu pula yang bikin gw lumayan
prepare saat akan nonton
London Love Story 2, bahwa mungkin titik puncak mereka hanya akan sampai di ILY.
Mundur sedikit, London Love Story sepertinya ingin dijadikan seri perjalanan cinta antara dua insan muda Indonesia yang cukup beruntung bisa tinggal di luar negeri dengan nama yang sangat novel, Dave (Dimas Anggara) dan Caramel (Michelle Ziudith). Beruntung (or not) gw sempat menonton filmnya di TV, sehingga yah lumayan informed bahwa keduanya dipertemukan di Bali lalu si Caramel minggat tanpa bilang setelah melihat dari jauh Dave mesra dengan wanita lain yang mengaku tunangannya lalu mereka tanpa sengaja ketemu lagi di London dan Dave menjelaskan sudah menolak pertunangan itu dan selesailah salah paham selama setahun itu dengan keduanya jadian. I know. Move along.
Di London Love Story 2, kisahnya satu tahun kemudian, Dave dan Caramel sudah tunangan. Keduanya begitu mesra dengan Dave selalu memberikan rupa-rupa surprise unyu kepada Caramel, termasuk tiket liburan bareng ke Swiss, sekaligus mengunjungi sahabat mereka Sam (Ramzi). Di tengah liburan itu, muncul sosok Gilang (Rizky Nazar), teman dari Sam, seorang chef dari Indonesia. Namun, bagi Caramel orang tersebut lebih daripada itu, karena ternyata keduanya punya masa lalu bersama sebelum Caramel bejumpa dengan Dave. Keduanya seolah kompak sama-sama diam pura-pura baru kenal, tetapi sikap diam-diam perhatian dari Gilang membuat Caramel tak nyaman, apalagi dia sudah punya Dave dan most of the time mereka jalan rame-ramean di selama di Swiss. Sampai kapan mereka bisa diam saja begitu, dan sampai kapan mereka bisa merahasiakan ini semua dari Dave.
I mean, wow, kalau lihat dari sinopsisnya saja, tanpa melihat ini produksi Screenplay dan dimainkan oleh anak-anak ini, this can actually be a legit romance film, even for adults =D. Di luar ekspektasi gw, kisah London Love Story 2 ternyata memuat konflik-konflik relationship yang terbilang lebih masuk akal daripada film-film Screenplay sebelumnya. Kisahnya sendiri straightforward begitu, bahkan kayaknya beberapa adegan sudah pernah dilakukan di film-film Screenplay lainnya, tetapi di sini entah kenapa lebih ada volumenya. Meski, yah, di beberapa titik film ini teteup mau masukkan elemen "twist" seperti biasa, untungnya penuturannya nggak terlalu mengandalkan itu sebagai alat kejut buat penontonnya. Yang ada hanyalah pengungkapan dari petunjuk-petunjuk yang sudah jelas dipaparkan di terlebih dahulu, predictable tetapi setidaknya nggak tiba-tiba ada, dan nggak asal flashback saja. Kata-kata mutiara buatannya pun nggak terlalu banyak, malahan gw lihat film ini lebih banyak bermain di visual, yaitu dari ekspresi dan gestur pemainnya. Ke-verbal-annya dikurangi, sehingga memberi ruang lebih longgar bagi mood dan emosi. Progress! =D.
Tentu saja, beberapa penyakit film-film pendahulunya masih kambuh di beberapa tempat. Pengungkapan dan penjelasan di bagian penutupnya masih dengan cara klasik "kamu salah mengira", humor-humor receh (nggak sereceh Promise sih =_=), atau masih ada kesan film ini cuma pinjam setting luar negeri buat jualan tanpa benar-benar ada pengaruhnya sama cerita. Namun, problem yang paling mendasar ternyata balik lagi ke cerita, khususnya karakterisasi. Gw cukup fine sama jalan ceritanya—again karena sebab akibatnya yang paling masuk akal dari semua film Screenplay, tetapi film ini masih memberi buaian melenakan bahwa orang-orang ini sudah punya karier sebagus itu dan masalah-masalah seribet itu dalam umur yang sangat muda. Masih umur 19 sekolah di luar negeri mikirnya udah nikah aja, umur 20 udah bisa bergelar "chef" di Swiss, dan bahwa "masa lalu" ternyata baru 2 tahun sebelumnya, like, yaelah masih ada sisa bau pensil 2B Ujian Nasional aja kesannya udah lamaaa banget. Yah, karena filmnya ingin memuaskan target penontonnya yang remaja yang konon nggak boleh dikasih yang terlalu harsh reality, mau nggak mau gw harus maklum.
Akan tetapi, gw kali ini lebih ingin mengingat akan hal-hal positif yang dilakukan film ini, yang mungkin patut dipetik oleh mereka yang ingin bikin karya sejenis. Screenplay kali ini benar-benar meningkatkan cara berceritanya (yah lumayanlah) serta
of course nilai produksinya. Meski ke-Eropa-annya itu nggak pengaruh buat cerita, tetapi cukup ngaruh dari segi produksi. Yang gw perhatiin khususnya Swiss yang sepertinya sangat kolaboratif untuk keperluan film ini lebih dari sekedar ambil pemandangan, malah sampai bisa ada adegan kebut-kebutan mobil antik (ah, yang kurang dari Promise akhirnya dibayar di sini hahaha =P), demikian pula persembahan visual cerah berwarna yang bikin film ini sangat enak dinikmati di layar lebar. Namun, mungkin yang paling mengejutkan gw adalah para pemainnya yang berhasil untuk tidak menjengkelkan—termasuk Michelle yang biasanya histerikal dan Ramzi sebagai
comic relief yang paling rawan jadi menjengkelkan. Bahkan, ketika tiba pada sebuah adegan yang cukup intens antara dua karakter seperti
reversed-version of AADC 2, ternyata jauh dari kata gagal ataupun norak. Gw kayaknya perlu
give credit ke sutradaranya atau siapa pun yang mampu membuat aktor-aktor langganan Screenplay tersebut bisa begitu kali ini.
Atau, gwnya saja yang sudah terlalu melunak dan tak lagi laik dalam mengritisi, sehingga mudah terperdaya oleh segala hal yang ditawarkan film ini. Well, bagaimanapun, setiap kali ekspektasi kita bisa dilampaui oleh karya yang kita nikmati, rasanya akan enak aja, ya 'kan? Itu yang gw dapat dari London Love Story 2. Kekonyolan-kekonyolan masih belum lepas di berbagai elemennya, namun di saat bersamaan film ini juga menunjukkan niat dan upaya maju—ke arah yang lebih benar dibandingkan Promise, dan itu menyenangkan untuk disaksikan.
My score: 6,5/10