Terpana(2016 - Metafor Pictures)
Written & Directed by Richard OhProduced by Richard OhCast: Fachri Albar, Raline Shah, Reza Rahadian, Aghi Narottama, Uwie Balfas, Poppy Sovia
Setiap seniman, pada hakikatnya bebas mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan hatinya dalam bentuk ekspresi apa pun dan bagaimanapun. Cuma, menurut gw, jago atau tidaknya seorang seniman tersebut juga bisa diukur dari bagaimana dia bisa membuat audiensnya nyambung sama apa yang dia ingin sampaikan. Kalau konteksnya film, beberapa orang memutuskan untuk "berkompromi" dengan jalan pikiran audiens sehingga filmnya bisa semudah mungkin dipahami bahkan diresapi, tentu saja dengan kadar kompromi berbeda-beda ya. Tetapi, ada juga orang-orang lain--atau mungkin orang-orang yang sama dalam fase waktu berbeda--yang memilih tidak berkompromi dan fokus pada caranya sendiri, karena harus diakui, sesempit apa pun segmennya, pasti ada saja audiensnya, sesempit apa pun segmennya *diulang*. Kenapa gw mengawali review ini dengan random adalah semata-mata terpengaruh pada filmnya sendiri yang random se-random-random-nya, karena si pembuat film ini bebaaaas sebebaaas-bebaaassnya dalam mengekspresikan maksud hati dan pikirannya, itu pun kalau ada yang nangkep maksudnya itu apa. Sebelum berprasangka buruk, gw jamin, pasti ada saja audiens yang nyambung sama film ini. Hanya, gw nggak termasuk di sana.
Terpana punya premis yang asyik. Rafian (Fachri Albar) hampir ditabrak truk jika saja tidak tertegun pada kecantikan Ada (Raline Shah) yang ada di seberang jalan. Ia lalu mendatangi Ada dan menawarkan ide bahwa pertemuan mereka bukan kebetulan, sementara Ada justru berpikir sebaliknya, everything happen by chance. Menarik kan? Romantis pula. Tetapi, bagian yang gw paham cuma sampai di situ. Sebab....apa ya...mau mendeskripsikannya lagi dalam bentuk tulisan juga bingung. Film ini nggak ada ceritanya, isinya hanyalah dialog antara Rafian dan Ada, tetapi itu masih fine kalau film ini menampilkan kerangka tempat, waktu, atau karakterisasi yang jelas, yang ternyata tidak demikian. Dan, yang bikin gw frustrasi adalah: sampai saat ini gw nggak ngerti kenapa dan untuk apa si pembuat filmnya bikin film ini.
Setelah melewati beberapa waktu kontemplasi, gw melihat bahwa Terpana ingin menitikberatkan hanya pada dialognya, pertarungan ide dari dua karakter--yang sebenarnya gw perhatikan kemudian seringkali tertukar-tukar kepribadian dan cara berpikirnya,
weird. Memasukkan kalimat-kalimat andai dengan istilah-istilah matematika fisika--dari trajektori hingga probabilitas hingga filsafat manusia goa--yang seolah ingin pamer tingkat intelejensia atau minimal referensi bacaan dari tokoh-tokohnya, yang malah makin mendorong gw bikin petisi ke bioskop supaya jual obat sakit kepala.
We've been through this already, judulnya
Supernova,
and look what happened. Tetapi, ya mungkin itu yang ingin dititikberatkan di sini, disuruh perhatikan dialognya, terlepas dari lokasinya yang lompat-lompat Jakarta-Medan sesuka hati, tanpa
continuity, lalu seolah ada siklus pengulangan lagi, pokoknya yang penting ngobrol terus dengan kalimat-kalimat yang mudah-mudahan
quotable.
Again, terserah deh mau gimana bikin filmnya, tetapi, gw tetap nggak nangkep maksudnya apa. Apakah ingin menggambarkan sensasi jatuh cinta melintasi batas ruang waktu dan dimensi, atau justru memang tujuannya membuat audiens bertanya-tanya apa maksudnya, gw nggak tahu...dan
in the end gw nggak peduli lagi. Bebas. Terserah.
Akan tetapi, ada satu hal yang menurut gw nggak boleh diloloskan dengan penilaian "bebas" dan "terserah", yaitu pemilihan pemain. Begini, dialog mau se-"pintar" apa pun, kalau delivery-nya kagok, it wouldn't sound so smart anymore, would it? Itulah yang menurut gw problem utama film ini (dari sekian problem gw terhadap film ini). Fachri dan amat terutama Raline adalah pemain berbakat dengan kerupawanan dan screen presence tinggi, tetapi itu jadi tak berguna ketika dialog-dialog yang dipaksakan untuk keluar dari mulut mereka tidak membuat gw yakin bahwa itu benar-benar diucapkan dari diri mereka. Malah mereka seperti sama bingungnya sama gw. Yang paling menyakitkan, mereka harus dibandingkan dengan salah satu tokoh pendukung/cameo/random guy mereka, Reza Rahadian, yang berhasil mengucapkan tiap-tiap kata yang sekalipun gw ragu maksudnya apa tapi at least diucapkan dengan meyakinkan. Artikulasi itu penting, apalagi untuk film yang berat di dialog seperti ini.
Gampangnya, gw nggak bisa pura-pura menikmati Terpana. Selain penataan gambar yang bening dan Raline yang lebih teramat bening, gw barely dapet apa-apa dari film ini. Gw nggak bisa bilang mind-provoking juga. Kalau mau diungkap secara dangkal dan nonakademis, gw lebih merasa seperti diolok "bingung 'kan lo? bingung 'kan lo?" daripada di-provoke =(. Gw sendiri membayangkan bahwa mungkin cerita ini lebih works kalau dalam bentuk literatur, sehingga imajinasi audiens tidak dibatasi oleh pemain dan teknisnya, misalnya. Soalnya, visual yang tidak pernah koheren di film ini malah lebih mendistraksi daripada membantu gw untuk memahami. Tetapi, siapalah saya berani-berani memberi saran. Lagipula, apakah saya menulis ini karena kehendak bebas atau ada kuasa lain yang menentukan, dan apakah saya benar-benar ada di realitas ini jika definisi realitas itu tak lain hanyalah segala yang ditangkap indera yang bisa saja dimanipulasi. Oh, kalau itu gw dapatnya dari The Matrix, dan gw paham cerita The Matrix. Mohon maaf kalau review ini juga saya tutup dengan random. Terima kasih. Bye.
My score:
5,5/10