Beauty and the Beast(2017 - Disney)
Directed by Bill CondonScreenplay by Stephen Chobsky, Evan SpiliotopoulosBased on Disney's Beauty and the Beast written by Linda WoolvertonProduced by David Hoberman, Todd Lieberman,Cast: Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, Kevin Klein, Josh Gad, Ewan McGregor, Ian McKellen, Emma Thompson, Stanley Tucci, Audra McDonald, Gugu Mbatha-Raw, Nathan Mack, Hattie MorahanFilm animasi Disney klasik
Beauty And the Beast (1991) adalah sebuah fenomena karena banyak faktor. Selain karena filmnya sendiri bagus, film ini juga memantapkan kebangkitan animasi Disney di peta perfilman dunia berkat sukses di
box office, punya lagu
soundtrack ikonik yang sering diputar di radio-radio dan TV (istilahnya "
pop version"), menang sepasang Piala Oscar dan jadi film animasi bioskop pertama yang masuk nominasi Best Picture di Oscar—dan itu di zaman jumlah nominasinya masih lima judul bukan 8-10 judul kayak sekarang. Status klasik film ini membuat Beauty and the Beast lebih identik dengan Disney ketimbang dongeng aslinya yang asal Prancis atau serial
procedural yang dibintangi Linda Hamilton dan Ron Perlman dulu *ekspos umur*. Maka, ketika Disney memutuskan untuk me-
remake film ini ke bentuk
live action selepas kesuksesan
Alice in Wonderland (2010),
Maleficent (2014), dan
Cinderella (2015), ada
excitement sekaligus kekhawatiran, setidaknya buat gw.
Excitement karena Disney telah membuktikan mampu mentransfer "
magic" dari versi animasinya ke
live action lewat berbagai teknologi sinema yang tersedia sekarang, maka membuat
Beauty and the Beast dengan skala akbar setara bahkan lebih dari versi animasinya jelas bukan masalah, Disney gitu, duwitnya banyak. Namun, muncul pula kekhawatiran bagaimana film ini bisa menyamai atau meleibihi pencapaian substansial film animasinya yang telanjur ikonik, dan tentu itu butuh dari sekadar bikin filmnya sedapat mungkin mirip dengan versi animasinya.
Iya, untuk yang kali ini Disney memutuskan membuat Beauty and the Beast sebagai dongeng musikal yang bagian besarnya merujuk pada versi animasinya, baik dari plot, karakter, sampai ke lagu-lagu yang digunakan. Jadi, ceritanya ya tetap tentang seorang gadis cantik nan cerdas yang terkurung di istana milik seorang pangeran yang dikutuk berwujud seperti hewan buas (beast), sampai akhirnya keduanya saling jatuh cinta. Proses menuju inti plot tersebut juga lebih kurang mirip seperti versi animasinya, yaitu Maurice (Kevin Kline) kedapatan melanggar aturan (yang obviously tak tertulis) di istana Beast (Dan Stevens) lalu dikurung sebagai hukumannya. Putri Maurice, Belle (Emma Watson) bersikeras untuk bertukar tempat dengan ayahnya, sehingga justru ia yang menjalani hukuman dari Beast. Akan tetapi, dengan bantuan para pelayan Beast yang kini semuanya berwujud perabotan istana, Belle dibuat untuk lebih nyaman tinggal di sana. Sebab, Belle mungkin satu-satunya orang yang dapat mematahkan kutukan yang menimpa Beast dan seisi istana, dengan cara menjadi cinta sejati dari si Beast. Masalahnya, maukah Belle mencintai Beast yang, err.., a beast, dan mampukah Beast mencintai orang lain beruhubung ia dikutuk karena nggak tahu cara untuk mencintai.
Gw termasuk senang dengan keberadaan dan hasil dari Beauty and the Beast versi terbaru ini. Film ini terbilang baik dalam membuat versi "hidup" dari animasinya, masih membawa keindahan visual dan suara, serta selipan-selipan humor yang, to say the least, nggak mempermalukan versi pendahulunya. Beberapa tambahan untuk memperkuat ceritanya juga menyatu dengan baik, seperti tentang sosok ibu Belle dan juga kehidupan Beast sebelum dikutuk. Tambahan-tambahan ini masih berhasil memperkuat message utama dari film ini perihal menilai orang dari penampilan luar, juga gw makin paham motivasi Belle untuk bertahan di istana—karena balik ke desa membuatnya kembali merasa lebih terasing, apalagi ada si ganjen Gaston (Luke Evans), selain karena porsi hubungan Belle dan Beast lebih dieksplorasi. Ini tentu saja menambah dimensi cerita serta para tokohnya sehingga nggak terlalu, well, kartunik lagi.
Akan tetapi, lebih dari sekadar menuturkan kembali cerita klasik terkenal, yang buat gw paling impresif dari Beauty and the Beast versi ini adalah formatnya sebagai film musikal. You might already know that I'm fond of musicals, dan film ini bisa mempersembahkannya dengan apik. Baik lagu-lagu lama yang sudah dikenal maupun lagu-lagu yang baru sama kuatnya, dan rancangan pengadeganannya pun terbilang menggetarkan dan exciting—terlepas dari kualitas vokal dua pemeran utamanya, Watson dan Stevens yang memang bukan jagoan musical theatre, untuk yang ini juaranya ada di Evans dan Audra McDonald sebagai si lemari pakaian. Gw begitu terkesan sama tampilan musikal film ini, apalagi dihiasi oleh desain produksi, kostum, dan visual efek yang megah—termasuk sebuah homage pada Moulin Rouge! (2001) mentang-mentang adegan itu dinyanyikan Ewan McGregor (Lumiere) =D. Sampai-sampai gw berharap bahwa film ini lebih banyak musical number-nya ketimbang dialognya…
Which brings us to the one tiny problem I have with this film. Film ini pada dasarnya sudah mengerjakan semua PR-nya dengan memuaskan, susunan ceritanya bagus, casting-nya oke, visualnya oke, musiknya bagus. Namun, entah berapa kali gw merasakan bahwa film ini terseret-seret temponya, dan gw perhatikan itu selalu terjadi di adegan non-musikal. Gw nggak masalah filmnya jadi panjang karena perlu tambahan dan tambalan cerita—berbeda dari versi animasinya yang memang dirancang lebih singkat dan padat, namun seharusnya versi barunya ini juga mampu menjaga intensitas dan ritme dramatiknya sebagaimana dilakukan di adegan-adegan musikalnya. Yang menurut gw juga turut menjadi faktor penyebabnya adalah akting beberapa pemainnya terlihat masih awkward, termasuk unfortunately Watson yang di sini kayaknya masih belum memberi variasi ekspresi—tapi mbaknya emang cantek sih T-T, serta beberapa karakter CGI-nya yang nggak seekspresif dan (ironically) sehidup versi animasinya. Alhasil, walau gw setuju bahwa keseluruhan film ini disajikan dengan begitu apik, gw mungkin nggak sampai menikmati dengan sepenuhnya puas, cukup saja.
Kalau menanyakan tingkat kepuasan dari remake live action dari animasi Disney belakangan ini, gw mungkin masih lebih condong pada Cinderella, yang menurut gw ada ikatan cerita dan emosi yang terjaga dan lebih konsisten, although perbandingannya mungkin kurang fair sih karena Cinderella bukan musikal. Nevertheless, buat gw Beauty and the Beast bukan film yang gagal, far from it, terlebih karena kemegahannya serta penghormatannya pada konsep klasik animasi Disney, dan terutama karena ini sebuah musikal, yang jarang-jarang bisa berhasil di zaman penonton-gampang-komplen sekarang ini.
My score:
7,5/10