Trinity, the Nekad Traveler(2017 - Tujuh Bintang Sinema)
Directed by Rizal MantovaniScreenplay by Rahabi MandraStory by Trinity, Piu SyarifBased on the book "The Naked Traveler" by TrinityProduced by Ronny Irawan, Agung SaputraCast: Maudy Ayunda, Hamish Daud, Ayu Dewi, Rachel Amanda, Anggika Bolsterli, Babe Cabiita, Farhan, Cut Mini, Tompi, Bio OneProyek film adaptasi buku nonfiksi bukan hal yang baru-baru amat sih, adaptasi film-filmnya Raditya Dika pun berasal dari buku yang bukan novel fiksi, demikian juga
Sokola Rimba,
My Stupid Boss, hingga
Jakarta Undercover. Apa pun itu, meski buku sumbernya nggak memuat plot atau karakterisasi, saat dibikin jadi film fiksi, ya plot dan karakterisasi itu perlulah dikreasikan supaya lebih enak ngikutinnya dengan masih memuat sebagian atau seluruh spirit dari buku sumbernya. Dalam iklim demikian, masih terbilang wajar saja bila muncul proyek film
Trinity, the Nekad Traveler,
berdasarkan buku populer The Naked Traveler yang merupakan catatan berbagai pengembaraan sang penulis yang bernama Trinity. Namun, siapa sangka bahwa perubahan kata naked ke nekad—yang btw menurut KBBI harusnya "nekat"—ternyata memang menggambarkan motivasi tim pembuatnya: nekat bikin sekalipun konsepnya nggak matang.
Gw agak bingung kalau disuruh menceritakan ulang film ini tentang apa. Yang paling jelas ini film soal versi fiksionalisasi dari Trinity (Maudy Ayunda) mencari jalan memenuhi bucket list-nya yang mostly melibatkan pergi ke tempat-tempat jauh atau melakukan hal-hal ekstrem yang nggak ada di lingkungan tempat dia tinggal. Itu plot yang cukup sederhana dan bisa dikembangkan menjadi sesuatu yang kaya, terus masuk juga soal percintaan dan persahabatan. Masalahnya, film ini kayak belum mampu mengembangkan itu semua dengan maksimal, paling nggak dari hasil akhir yang gw lihat di bioskop. Gw menebak bahwa ada benturan antara keinginan bercerita sebagaimana sebuah film seharusnya, dengan tuntutan bahwa film ini harus mereka ulang pengalaman-pengalaman traveling-nya Trinity ke berbagai tempat eksotis (walau gw ragu kalau Filipina itu termasuk kategori eksotis *eh*) sebagaimana isi bukunya yang jelas-jelas nonfiksi. Celakanya, justru bagian itulah yang lebih banyak diberi oleh film ini, semacam dokumentasi jalan-jalan, tanpa jalinan cerita yang utuh untuk merekatkannya.
Film ini lebih senang memamerkan pemandangan lokasi-lokasi syuting mereka sambil memberi berbagai tips berwisata sekaligus berpromosi pariwisata yang porsinya
unecessarily lebih panjang daripada bercerita tentang perjuangan atau konflik yang dialami Trinity dalam mencapai tujuannya. Gw ambil contoh, porsi nunggu pesawat di Makassar dan jalan-jalan di pasar di Manila nggak perlulah sepanjang itu, karena yang terjadi di adegan-adegan itu nggak pernah terkait dengan bagian lain, jadi
montage juga cukuplah. Dalam bagian besar filmnya, gw merasa ini lebih seperti
news feature pariwisata di Trans 7 ketimbang
an actual film. Kadung begitu sekalian aja tiap mampir makan kasih keterangan nama menu dan harga masing-masing plus alamat dan jam operasionalnya -_-'. Padahal berdasarkan film-film sejenis sebelumnya (dari
Eat Prat Love ke
Rayya ke Rizal's
5 cm), kalau ceritanya udah fix, motivasi dan plot utamanya udah kepegang, pemandangan indah tuh perkara gampang kok. Lihat aja film-filmnya Screenplay Films *lah balik ke situ =P*.
Modal untuk jadi film yang lebih menarik sudah tersedia lho. Ada tokoh Paul (Hamish Daud) yang seakan jadi tandem sehati sepikiran Trinity mengenai "traveling", ada sahabat-sahabat sehobi Trinity yang diajak jalan bareng ke Filipina, lalu ada tokoh misterius Mr. X yang berkontribusi dalam mewujudkan impian Trinity. Kalau gw pribadi, bagian Mr. X itu yang paling potensial dijadikan plot device film ini, karena ini bagian cerita yang paling "materi film banget", yang nantinya akan memancing perubahan pada si tokoh Trinity. Sayangnya kontribusi si Mr. X ini cuma dimunculkan satu kali doang, dimanfaatkan buat lagi-lagi pamer lokasi wisata sebanyak-banyaknya, di bagian menjelang akhir pula, ck. Anyway, gw menemukan sih isyarat bahwa konflik utama cerita ini adalah Trinity kadang lebih mementingkan bucket list ketimbang pekerjaan resminya ataupun keluarga dan sahabatnya, namun nggak ada yang dikembangkan dengan semestinya, bahkan beberapa nggak diselesaikan dengan baik, mungkin demi menganut prinsip "traveling itu perjalanan yang terus menerus tiada akhir" bla bla bla. Bagian yang bisa gw sebut "cerita" baru gw bisa tangkap di hanya 30 menit terakhir, itu pun bukan dengan cara yang enak, karena terlalu mengandalkan narasi voice over. In the end, keseluruhan film ini terasa hollow aja buat gw.
Yah…bukannya nggak ada sama sekali nilai baik yang dipunya film ini. Pemandangan itu one thing—walau yang terkait sama cerita itu paling cuma satu atau dua, tetapi gw juga cukup menghargai film ini dalam membentuk tone yang cukup jelas terhadap presentasi filmnya. Supaya jelas fiksionalisasinya, maka film ini dibikin lebih ke komedi, dengan berbagai tokoh karikatural (orang tua dan bos Trinity, plus Tompi =D), hingga breaking the 4th wall dengan Trinity beberapa kali memberi penjelasan langsung ke penonton dengan menghadap kamera. Kentara mereka ingin membawa film ini ke arah fun, dan itu cukup bisa diwujudkan, meski akhirnya tersandung oleh arah cerita dan penuturan yang kurang menyenangkan buat gw karena terganggu oleh "kepentingan" lain tadi—dan gw belum menyinggung perpindahan topik mendadak out of nowhere tentang betapa indahnya negeri kita, like, where's that come from? Oh, konon film ini juga punya misi sampingan menginspirasi penontonnya agar dapat berwisata dan meng-embrace-nya lebih dari sekadar numpang mampir dan numpang foto. Pada tahap tertentu, film ini cukup bisa membangkitkan itu di gw, tetapi mungkin karena gw pernah pengalaman ke Filipina, dan melihat apa yang ditunjukkan di film ini, gw sih masih belum menemukan alasan valid untuk wisata ke sana lagi =P.
My score: 5,5/10
ADS HERE !!!