Bid'ah Cinta(2017 - Kaninga Pictures)
Directed by Nurman HakimWritten by Ben Sohib, Nurman Hakim, Zaim RofiqiProduced by Nurman Hakim, Joya D. SahriCast: Dimas Aditya, Ayushita Nugraha, Ibnu Jamil, Fuad Idris, Alex Abbad, Dewi Irawan, Ronny P. Tjandra, Karlina Inawati, Yoga Pratama, Wawan Cenut, Norman Akyuwen, Ade Firman Hakim, Jajang C. Noer, Tanta Ginting, Khiva IskakSetelah
The Window, cepet juga jeda sutradara Nurman Hakim untuk film selanjutnya,
Bid'ah Cinta. Kali ini sepertinya lebih dekat dengan riwayat Hakim di dua film terawalnya, 3 Doa 3 Cinta dan Khalifah, yang berbicara tentang kompleksitas kehidupan karakter-karakter beragama Islam di negeri ini—mulai tentang anak-anak pesantren hingga stigma dalam berbusana. Namun, kalau dari segi skala, Bid'ah Cinta mungkin jadi yang terbesar. Bisa jadi itu karena gw lihatnya sekadar dari jumlah pemain yang berderet-deret, tetapi ternyata bisa dilihat juga dari isu-isu yang mau diangkat dalam lingkup sebuah kampung di tengah (atau pinggir?) Jakarta, semacam refleksi dari situasi sosial yang makin marak terjadi di negeri ini. Memang, dari judulnya (dan posternya) film ini seakan mengarahkan fokus pada kisah cinta muda-mudi, segitiga pula, namun rupanya pengejewantahan kata "bid'ah" dan "cinta" dieksplorasi lebih dari pada sekadar judul.
Gw menangkap Bid'ah Cinta adalah rangkuman kisah-kisah yang bermuara pada perbedaan pandangan—atau aliran—terhadap agama yang sama, dalam hal ini adalah Islam. Di suatu kampung mulai ada pergesekan antara penganut Islam lokal yang dipimpin oleh sesepuh kampung, pak Haji Rohili (Fuad Idris), dengan penganut Islam puritan yang mulai banyak peminatnya sejak kehadiran ustaz Jaiz (Alex Abbad). Yang membedakan kedua aliran ini adalah kaum puritan sudah nggak melakukan macam-macam tradisi yang nggak diperintahkan atau dicontohkan dalam hukum agama, atau sering disebut bidah—contoh di sini maulidan dan tahlilan. Di antara gesekan dua gagasan ini, ada sepasang muda-mudi yang menjalin hubungan dekat, Khalida (Ayushita Nugraha) dan Kamal (Dimas Aditya), hanya saja hubungan mereka tak sepenuhnya direstui karena perbedaan aliran agama yang mereka jalani. Kamal dari keluarga Haji Jamat (Ronny P. Tjandra) yang puritan serta kerabat dari Jaiz. Sementara Khalida adalah putri Haji Rohili, yang tentu saja lebih senang bila Khalida dijodohkan sama Hasan (Ibnu Jamil) yang baik budi, tidak sombong, dan sealiran. Namun, mengubah arah hati tidaklah semudah itu.
Rupanya, kisah cinta Khalida dan Kamal tadi bisa dibilang "hanya" sebagai penggerak utama film ini, karena ada berbagai subplot yang juga diceritakan di sekitar mereka. Lebih dari pada soal hubungan Khalida dan Kamal, ada pula persoalan masjid kampung yang jadi "rebutan" antar dua kubu yang memengaruhi kegiatan keagamaan di kampung tersebut. Ada pula kisah Farouk (Wawan Cenut) yang juga ingin merebut hati Khalida, tetapi kehidupan yang serabutan dan gemar mabok terus menjadi penghalang, sampai ia menemukan cara yang diharapkan mampu membuatnya berubah secepat mungkin. Muncul pula Sandra (Ade Firman Hakim), sosok yang religius tetapi mendapat pandangan miring dari sesama jemaah karena fakta bahwa ia wanita transgender. Tak lupa—seperti film-film bertema Islam bikinan Hakim sebelumnya, film ini juga membahas tentang stigma "teroris" yang dalam dekade-dekade belakangan kerap dikaitkan dengan penganut Islam. Bagian ini digerakkan lewat tokoh kakak Khalida, Zaki (Yoga Pratama) yang kekeuh menuduh Kamal adalah bagian dari kelompok umat pendukung terorisme, serta kemunculan dua ustaz baru (Tanta Ginting dan Khiva Iskak) di lingkungan ustaz Jaiz yang diam-diam mengundang tanya.
Kalau dijabarkan kayak begitu tadi, kesannya film ini kepenuhan topik. Akan tetapi, Bid'ah Cinta ternyata berhasil mengatasi risiko kepenuhan itu dengan penuturan yang rapi dan terus terkait satu dengan yang lain. Kisahnya seperti terpencar-pencar, tokoh-tokohnya pun demikian banyak, namun gw tetap merasakan setiap cerita yang disampaikan film ini tetap punya satu benang merah, sebab akibatnya tetap nyambung, gw pun tetap bisa balik lagi ke tokoh atau cerita yang mana tanpa merasa kesasar atau kehilangan. Gw bisa merasakan film ini tetap satu cerita utuh, yaitu cerita tentang sebuah kampung menghadapi masalah perbedaan pandangan, dan yang cukup penting juga adalah semuanya itu mengarah kepada sebuah statement yang jelas. Film ini nggak membenarkan atau menyalahkan pandangan yang manapun, nggak bisa segala sesuatu dikelompok-kelompokkan dengan prasangka masing-masing dan harus selalu dibikin bertikai, semua punya argumen yang valid—dan diolah dalam berbagai dialog yang cukup mengena, tetapi bahwa yang seharusnya diperhatikan oleh semua pihak adalah cinta kasih terhadap sesama. Statement ini begitu jelas namun nggak dijejali ke penonton secara verbal, melainkan dititipkan pada penataan adegan serta dialog, hingga memainkan prasangka penonton terhadap karakter-karakternya, classy.
Di luar susunan cerita, film ini juga makin bikin nyaman dilihat lewat pemeranan dan nilai produksinya yang layak. Gw suka sama presentasi visual film ini, gabungan desain produksi dan sinematografinya memberikan kesan sederhana tetapi "bertekstur" dan berkarakter, dan di sisi lain, walau terkesan agak terlalu bersih dan lengang untuk sebuah kampung di Jakarta, masih tetap terasa membumi dan believable. Para pemain yang jumlahnya belasan itu pun bisa memberikan akting yang baik. Mungkin presentasi filmnya yang multiplot nggak memberi mereka ruang yang lebih leluasa dalam memberikan performa menonjol, tetapi menampilkan akting yang saling kompak dan terkait tetaplah sebuah pencapaian. Btw, gw melihat film ini cukup baik dalam memadukan gaya penuturan yang komunikatif dengan artistry-nya, jadi nggak terlalu cerewet apalagi memanipulasi emosi, tetapi nggak terlalu "sunyi sunyi nyeni" juga, sehingga seharusnya sih film ini bisa diterima penonton dalam jangkauan lebih luas ketimbang 3 Doa 3 Cinta atau The Window, misalnya. Ada juga saat film ini hampir mengesankan semua persoalan pasti selesai dengan cara-cara klise, namun terselamatkan oleh manuver yang mengarahkan gw untuk melihat bahwa nggak semua problem kehidupan yang dikisahkan bisa tuntas tas dalam waktu bersamaan.
Tentu saja Bid'ah Cinta bukannya tanpa problem. Kalau buat gw, meski gw cukup menikmati cerita dan tampilannya—yang agak mengingatkan pada tuturan gaya film atau drama TV lawas dengan angle cerita serupa, which was not a bad thing, problem yang paling kelihatan dari film ini terletak pada lajunya. Entah berapa kali gw merasa durasi adegan film ini bisa dipersingkat—dan ya itu termasuk adegan dangdutannya. Andai di-trim lagi aja, pasti film ini akan lebih terasa impact-nya. Terus terang itu cukup bikin gw tertahan untuk benar-benar menikmati film ini seutuhnya, tetapi cuma itu aja sih, selebihnya oke kok. Toh, buat gw beberapa bagian lain yang dicapai Bid'ah Cinta sudah cukup untuk membuatnya sebagai film yang patut, bahkan perlu ditonton oleh lebih banyak orang. Meski kesannya isu yang diangkat cukup sensitif dan agak dihindari dalam percakapan umum, film ini masih bisa membawakannya dengan articulate, nggak ofensif ataupun defensif, sembari menyuntikkan humor dan sweetness yang bikin filmnya nggak segitunya menjenuhkan. Seusai nonton gw bukan cuma mendapatkan kisah cinta Khalida dan Kamal dan Hasan, tetapi juga kisah satu kampung itu, dan suatu insight dari isu-isu relevan perihal kehidupan beragama di Indonesia, dalam tuturan yang mudah diserap dan kemasan yang terampil.
My score: 7,5/10